" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Minggu, 24 Juni 2012

Choco Chiko


           GUBRAAAGG!!! “Hwaa!!” tangisku sekeras-kerasnya. Ku lihat es krim coklatku sudah raib dari tanganku. “Kamu nggak papa?” tanya seorang anak laki-laki padaku_yang membuatku jatuh atau lebih tepatnya aku yang meleng sehingga menabraknya_. Dengan masih terisak, ku gelengkan kepala sambil mendirikan sepedaku. “Aduhhh, jangan nangis dong.” katanya ketika melihatku masih sesenggukan. “Maaf ya. Jangan nangis lagi ya.” katanya mengulangi katanya yang tadi. Ku pandangi es krimku yang malang. “Jangan nangis ya. Maaf, es krim kamu jadi jatuh. Nih sebagai gantinya.” katanya tersenyum sambil menyerahkan sebungkus coklat “choco” padaku. “Chiko, ayo!!” panggil anak laki-laki tak jauh dari kami. “Maaf ya.” katanya sambil bergegas mengayuh sepedanya. Aku hanya mengangguk sambil mendekap coklat itu. Dari kejauhan aku masih bisa mendengar suaranya, “Maaf ya, kak. Nih aku kasih coklat deh.” katanya tersenyum sambil menyerahkan coklat “choco” pada anak lelaki yang dipanggilnya “Kak” itu.

       
 “Al, awas!!” jerit Finda sambil menarikku. Aku segera tersadar begitu mendengar kemarahan sopir angkot yang memaki kelamunanku. “Kamu kenapa sih, masih pagi kok sudah nglamun.” tanya Finda. “Nggak kenapa-kenapa kok.” kataku masih melihat seorang cowok seumuranku yang sedang memakan coklat “choco” sambil menaiki sepeda di trotoar ujung jalan yang tak terlalu tampak. “Eh-ehm!!” batuk Finda keras tepat di samping telingaku. Aku hanya tersenyum jahil sambil menutup telingaku. “Siapa, Al?” tanyanya sambil memandang cowok tadi yang sudah sangat jauh. Aku hanya menggeleng. “Temen SMP?” tanyanya. Aku menggeleng. “SD?” tanyanya lagi. Aku menggeleng lagi. “TK?” Aku masih menggeleng. “Sudahlah, nggak penting kok. Eh, bukannya hari ini di kelasmu ada ulangan sejarah ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan sekaligus mengingatkannya. “Aduh, iya.” katanya sambil menepuk kepalanya. “Aku duluan ya, Al. Bisa kebagian bangku paling depan nih kalo’ sampai telat. Daah.” katanya sambil berlari menerobos siswa-siswi SMA Angkasa yang sedang memasuki gerbang. “Dasar Finda.” gumamku sambil melihat kegugupannya sampai menabrak siswa, pohon, sampai siswa yang tengah memarkirkan sepeda. Eh, sepeda?! Chikokah?? Aku masih berhutang “maaf” dan “terimakasih” padanya. Masih terlihat Finda bilang “maaf-maaf” padanya. Tapi, sepertinya dia bukan Chiko, dia hanya mengangguk dan pergi, tak tersenyum seperti Chiko yang dulu pernah ku lihat. Mungkin dia memang bukan Chiko.

           “Fin, ke kantin yuuk.” ajakku sambil melongokkan kepalaku ke dalam kelasnya yang kebetulan berada di depan kelasku. “Waah, maaf Al. Aku baru inget kalo’ hari ini ada pe-er fisika. Nanti aku nyusul deh.” katanya di antara desakan siswa-siswi yang masih sibuk mengopi jawaban. “Aku duluan ya.” kataku agak keras supaya Finda mendengar suaraku. Dia hanya mengangkat tangannya memberi sandi “peace” di antara desakan itu. “Al, mau kemana?” tanya seseorang dari belakang sambil menepuk bahuku. “Eh. Mau ke kantin. Kalian mau ikut?” kataku begitu ku lihat itu adalah Ninda dan Disya. “Emangnya kamu belum di kasih tahu?” tanya Disya padaku. Aku hanya menggeleng. “Ikut kita aja yuuk.” katanya lagi. “Kemana?” tanyaku bingung begitu Ninda menggamit tanganku. “Hari ini ada rapat anggota ekskul buat nyiapain tampil di pentas wisuda kakak kelas nanti.” katanya sambil menarik tanganku. Aku hanya pasrah begitu Disya mendorongku dari belakang. “Al, mau kemana?” tanya Finda begitu melihatku “diculik” mereka. “Pinjem Alya bentar, Fin.” kata Disya sambil tersenyum jahil. Aku hanya berkata “gitar” tanpa suara pada Finda. Dan dia hanya meng”oh” dan kembali masuk ke kelasnya.

           “Yap, sudah lengkap kan semuanya?” kata mas Dimas_pelatih gitar kami_ setelah selesai menghitung jumlah kami. “Mas, Koko belum datang.” kata seorang kakak kelas yang duduk di paling ujung. “Gimana, mau kita tunggu?” tanya mas Dimas pada kami. “Mulai aja, Mas. Habis ini di kelasku ada ulangan.” kata Andra_teman sekelas Finda_. “Iya mas, mulai aja. Aku belum ngerjain pe-er nih.” kata Nando yang duduk paling depan. “Yee, salah sendiri belum ngerjain.” kata Mas Dimas akan menjitak kepalanya. Tapi Nando segera menghindar. “Ya sudah, kita mulai saja rapatnya.” kata Mas Dimas dengan tidak menunggu si “Koko” itu.

           “Aduh, Al, sumpah. Ulangannya sulit banget. Kalo’ boleh milih, aku lebih milih ngerjain 100 soal matematika dalam waktu satu tahun. Udah gitu Pak Andi pake’ keliling lagi. Bakal remidi nih aku. Kamu curang sih nggak mau ngasih tahu aku yang keluar apa aja.” katanya panjang lebar kali tinggi di tengah siswa-siswi Angkasa yang baru keluar dari kelas mereka. “Maaf. Maaf. Kan Pak Andi sering bilang, sebagai anak IPA, kita tak boleh ber’disfusi osmosis’. Iya kan?” kataku. “Iya sih.” kata Finda sambil mengingat kata-kata Pak Andi itu. “Lagian kamu nggak bakalan remidi kok.” kataku lagi. “Yang bener, Al? Kok kamu bisa tahu?” tanyanya sambil merubah ekspresi senangnya dengan ekspresi bingungnya. “Kalo’ nggak salah kan di ulangan terakhir ini emang nggak ada remidinya, Fin.” kataku sambil mengingat kata-kata Pak Andi satu bulan yang lalu. “Oh iya ya. Tapi, nilaiku gimana ya?” katanya parno. “Sudahlah. Jangan patah semangat gitu dong. Masih ada ulangan semester menanti kita.” kataku. Finda hanya mengangguk-angguk. “Hari ini kamu kumpul ekskul ya, Al?” tanyanya. “He’em.” jawabku singkat sambil duduk di depan ruang musik. “Kamu pulang dulu aja ya, Fin.” kataku. “Nanti aja ah, aku mau nunggu jemputan Mas Tio dulu.” katanya sambil mencari-cari kakaknya yang barangkali sudah di depan sekolah, tapi tak lama kemudian segera mengubah ekspresinya itu dengan tersenyum dan manggut-manggut. Ekspresi yang aneh. Pikirku sambil melihat orang yang melewati kami. “Kamu kenal dia,Fin?” tanyaku begitu ku lihat siapa yang merubah ekspresinya itu. “Kenal sih nggak. Tapi tadi aku nabrak dia pas aku mau ke kelas. Tapi kayaknya sih dia kakak kelas.” katanya. “Kok kamu bisa tahu kalo’ dia kakak kelas kita?” tanyaku lagi. “Dia kan sering banget kongkow-kongkow dan tampil bareng bandnya anak-anak kelas XII. Dia juga kan ikut ekskul musik. Jangan-jangan kamu malah baru lihat dia ya?” tanyanya sangsi. Aku hanya mengangguk. “Hm…” katanya sambil menggelengkan kepalanya. “Aku pulang duluan ya, Al.” katanya sambil bergegas dan melambaikan tangan pada kakaknya di seberang jalan.


+   !   @   12   @

           “Bang, beli es krim coklatnya dong.” kataku di antara desakan anak SD yang sedang mengantri. “Anak kecil terakhir aja, bang.” kata seorang anak lelaki sambil tersenyum usil padaku. Si abang tak mempedulikan omongannya dan masih melayani anak-anak lainnya. “Bang, aku satu ya.” kataku lagi. Si abang memberikan padaku, tapi segera diserobot anak tadi. “Bang, satu.” kata anak lain. “Waah, sudah habis dek.” kata si-abang penjual es krim sambil mengisyaratkan “kehabis”annya itu. Terdengar kekecewaan dari mereka_termasuk aku yang tak kebagian es krim. Aku menunduk kecewa sambil berjalan menuju tempatku biasa menunggu jemputan ibuku. “Memang di sekolah ini abang itu jualannya selalu laris pas jam pulang sekolah.” kata anak di sampingku_siswa SD ini dengan nada serius yang dibuat-buat. “Kamu mau coklat?” tanyanya sambil menyerahkan coklat “Choco” di pangkuanku. “Kamu tahu nggak, coklat itu bisa buat kita seneng lho.” katanya sambil berdiri. Aku menengok ke arahnya. Dia lagi. “Hwaa. Ibu, aku mau itu, Bu.” rengek seorang anak TK pada ibunya ketika melihat penjual mainan di depan SD_yang tepat berada di sebelah TK itu. “Aku duluan ya.” katanya sambil berjalan menuju tempat sepedanya. Tidak. “Adik cantik mau ini?” tanyanya sambil memberikan coklat “Choco” pada anak itu. “Terimakasih, kak.” katanya sambil mengusap air mata hasil rengekannya tadi. Si ibu hanya tersenyum ramah padanya, seolah seperti sudah mengenalnya lama.
           Miko Rahardi. Siswa kelas XII IPA 3. Kenapa aku baru mengenalnya sekarang? Bodoh sekali aku ini. Tapi, memang ekskul band masuknya lebih awal dari ekskul gitar, dan pulangnya juga paling akhir dari ekskul musik lainnya. Dia agak mirip dengan Chiko. Tapi, namanya kan Miko. Dia juga biasa di panggil Koko. Nggak nyambung euy. Mungkin memang bukan dia. “Al, kamu latihan terus setiap pulang sekolah ya?” tanya Finda padaku. “Eh, apa?” tanyaku kaget. “Eh, eh, iya, Fin.” kataku lagi sambil mengingat pertanyaannya barusan. “Tapi tiga hari lagi kan udah mulai semesteran, Al. Nggak berhenti?” tanyanya lagi. “Berhenti dong. Diberhentikan khusus buat semesteran.” jawabku. “Bagus deh, kalo gitu.” katanya lega. “Kamu udah belajar buat semesteran, Fin?” tanyaku. “Udah dong.” katanya mantap. “Aku nggak mau kaya’ pas ulangan sejarah kemaren. Kapok aku.” katanya lagi. “Jangan bilang kalo’ kamu belum buka buku sama sekali.” katanya untuk kesekian kalinya sangsi padaku. “Udah kok dikit-dikit.” sanggahku. “Huh dasar. Belajar yang rajin, Al, berhenti dulu main gitarnya. Jangan juga urusin temen coklat kamu itu lagi. Kalo’ udah jodoh, nggak bakal kemana kok. Pasti nanti ketemu. Di hari yang tepat.” katanya dengan nada Untuk Perempuan-nya Sheila On 7. Aku yang tadinya mengangguk-angguk mendengar ocehan sepupu jauhku itu langsung melirik tajam ke arahnya. “Haha, takut.” candanya sambil berlari ke kelasnya. Tahu saja dia apa yang aku pikirkan. Benar juga, aku harus fokus pada persiapan semesteran nanti. Tapi kalau masalah gitar, maaf saja ya, Fin. Kataku dalam hati sambil terbayang wajahnya saat menasehatiku tadi.
+   !   @   12   @

           “Anak-anak, apa yang terlintas di pikiran kalian katika mendengar nama Supriadi?” tanya Pak Andi pada kami. “Tak kenal, Pak.” kata Siska. Diikuti “Huu”an dari siswa lain. “Pejuang, Pak.” kata Hendi. “Tentara PETA, pak.” kata Mila. “Prajurit Pembela Tanah Air, Pak.” kata Erza. Diikuti tawa dari siswa lain karena artinya sama dengan yang dikatakan Mila. “Sudah, sudah.” kata Pak Andi mengkondisikan ketenangan. “Ada lagi yang tahu?” tanyanya. “Prajurit yang hilang, Pak.” kataku. “Ada lagi?” tanya Pak Andi lagi. Tampak gelengan dari siswa-siswi. “Semua yang kalian katakan itu hampir semuanya benar.” kata Pak Andi diikuti senyuman bangga dari para siswa yang mendengarnya. “Sudah kita ketahui, Supriadi adalah salah satu tentara atau prajurit PETA yang berhasil dengan perjuangnnya. Kebanyakan dari kita mengenalnya dengan sebutan Tentara Yang Hilang. Pada saat itu ketika Supriadi akan diberi penghargaan dan hadiah oleh pemerintah karena keberhasilannya, dia tak muncul. Sampai pemerintah menyuruh beberapa orang untuk mencarinya, tapi Supriadi masih juga tak nampak. Sampai akhirnya bermunculan banyak anggapan miring tentangnya.” Pak Andi memberi jeda pada ceritanya itu. Kami menunggu kalimat cerita selanjutnya. “Nah, sekarang tugas kalian adalah mencari tahu siapa dan apa yang dikatakan tentang tanggapan-tanggapan miring tentang Supriadi itu.” kata Pak Andi lagi, dengan diiikuti suara riuh rendah pertanda pendengar kecewa dengan cerita yang tu bi kontinyu itu, ditambah dengan tugas yang harus dicari. “Selalu ada cerita di balik peristiwa. Kalian sebagai generasi muda juga harus tahu kenapa Supriadi tiba-tiba menghilang. Jangan hanya melihat dan mengikuti tanggapan-tanggapan miring yang dikatakan orang lain. Paham?” sambung Pak Andi. “Paham, Pak.” kata kami dengan malasnya. ”Sekarang kita lanjutkan ke materi terakhir.” kata Pak Andi lagi. “Yaah.” terdengar desahan lagi. “Nanggung, Pak. Kurang sepuluh menit lagi.” kata Arga menunjukkan jam dinding kelas, berharap Pak Andi segera membiarkan kami pulang. “Anak-anak, kita sebagai generasi muda, harus selalu menghindari KKN yang mungkin saja bisa terjadi.” kata Pak Andi dengan kebapakannya. “Memangnya bapak masih muda?” canda Roni. “Umur bapak kan baru dua kali umur kalian.” kata Pak Andi cengengesan sambil membuka-buka buku paketnya. Semua siswa tertawa begitu mendengar candaan Roni dan Pak Andi itu.

           “Al, nanti kalo’ kamu sampe rumah duluan, sampe’in sama ibuku ya, hari ini aku mendadak mesti ngerjain tugas di rumahnya Sisil. Tolong ya.” katanya sambil bergegas membonceng motor Levi. Aku hanya mengangguk-angguk. “Al, cepet sini.” panggil Disya dari dalam ruang musik sambil melambaikan tangan ke arahku. “Iya, iya.” kataku bergegas masuk ke ruang musik. Nyaris telat, karena aku berjalan tepat di belakang Mas Dimas.

           “Karena sebentar lagi kalian mulai ulangan kenaikan kelas, jadi untuk sementara latihan kita ini diberhentikan. Tapi untuk kalian yang pengen refreshing atau cuman pengen mampir, markas kita ini selalu terbuka untuk kalian.” kata Mas Dimas dengan ekspresifnya, diikuti dengan tepuk tangan dan tawa dari kami. “Emangnya boleh, Mas? Kan biasanya kalo’ semesteran semua ekskul dilarang buka kelas.” kata Wendi_adik kelasku_. “Siapa bilang?” kata Mas Dimas sambil tersenyum usil. “Dasar ade’ kelas. Ruang ini kan bakalan di pake’ buat semesteran nanti.” kata seorang siswa dari ujung belakang. “Yaah, sama aja dong kak.” kata Wendi kecewa. “Emang.” kata kakak kelas itu lagi. “Tenang, tenang. Ruang musik memang tetap dibuka. Tapi khusus buat anak-anak kelas XII yang bakalan tampil.” kata Mas Dimas dengan diikuti sorakan dari siswa non kelas XII. “Sudah, sudah. Sekarang kalian boleh pulang, kecuali band inti kelas XII.” kata Mas Dimas lagi, tapi kali ini diikuti sorakan gembira dari siswa non kelas XII termasuk aku, Disya, dan Ninda yang segera bergegas keluar ruangan. Sepertinya dari tadi aku tak melihat Koko. Ku lihat di antara mereka yang keluar dan masih di dalam ruangan. Tapi Koko memang tak terlihat. Jujur, aku masih penasaran dengannya. Aku sangsi jika dia bukan Chiko.

           “Al, kami pulang dulu ya.” kata Ninda begitu kami sampai di parkiran sekolah. Aku mengangguk sambil terus berjalan menuju halte depan sekolah. “Maaf ya. Jangan nangis lagi.” Hei aku kan tidak sedang terlalu memikirkan Chiko. Sepertinya aku memang sudah keterlaluan, sampai seperti mendengar kata-kata yang biasa Chiko ucapkan dulu. “Aku yang mesti minta maaf.” kata seorang cewek. Eh, sepertinya aku sedang tak mengigau. Aku segera menoleh ke belakang, sampai pojokan parkiran. Tak ada orang. Ku lihat ke samping_yang hanya ada ruang musik dan hall disana, terlihat seorang cewek, dan,.. Koko?! “Jangan nangis lagi ya. Nih kamu mau ini?” tanyanya sambil memberikan sebungkus coklat “Choco” pada cewek itu. “Maafin aku.” kata si cewek itu lagi sambil menggenggam coklat yang diberi Koko. Koko mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Jangan nangis lagi ya.” katanya sambil berdiri. Pacar Koko’kah dia? Tapi, kenapa dia menangis? Putus?? Ah, sudahlah, bukan urusanku. Tapi, dia memang benar-benar mirip Chiko. Tapi, namanya kan Koko.

+   !   @   12   @

           “Dadah, Alya. Hati-hati di jalan ya.” kata Finda begitu aku mulai mengayuh sepedaku dengan kencang untuk segera pulang setelah mengantarnya pulang. “Iya, jangan lupa salam buat Pakde dan bude ya.” kataku sambil menghadap ke belakang dan melambaikan tangan ke arah Finda. “Al, awas!” teriak Finda. Terlambat. GUBRAAAGG!! Aku menabrak seseorang dengan sepedanya yang tengah menyeberang. Yang kudengar hanyalah suara panggilan Finda dari radius 112 meter. Tak ada yang menolongku. Jalanan sepi. “Kamu nggak papa? Ada yang lecet nggak?” tanya seseorang yang kutabrak sambil mendirikan sepedaku. Aku hanya menggelang sambil berdiri membersihkan seragamku yang kotor. “Kamu lagi. Nih. Jangan nangis lagi ya. Kamu beneran nggak papa kan?” katanya sambil menyerahkan sebungkus coklat “Choco” ketika melihatku meringis kesakitan. Dia lagi. “Lain kali hati-hati ya.” katanya sambil segera melajukan sepedanya. “Kamu nggak papa, Al? kamu tuh ceroboh terus.” kata Finda khawatir. “Hehe. Aku nggak papa kok.” kataku sambil menyembunyikan coklat “Choco” ke dalam saku rokku.

           “Akhirnya selesai juga.” kataku dengan leganya seolah melepas tas sekolah seberat lima kilogram beserta isinya. “Iya. Nanti kamu mulai latihan lagi, Al?” tanya Finda. Aku mengangguk bahagia ketika melihat Chiko, eh Koko di depan ruang musik. “Maaf ya, Fin. Kamu jadi sering pulang sendiri.” kataku. “Nggak papa kok. Sukses ya, Al.” kata Finda sambil melambaikan tangannya sambil menuju ke halte yang masih sepi karena mayoritas siswa Angkasa yang belum pulang dan atau belum keluar dari ruangan eksekusi alias sedang mengerjakan soal-soal semesterannya. Aku hanya mengangguk sambil menuju ke arah Koko yang sedang duduk sendirian. Sendirian?! Jengah aku. Datanglah teman-teman. Datanglah kemari. Kataku dalam hati memanggil teman-temanku. “Ko, udah bikin denah manggungnya belum?” tanya Mas Dimas keluar dari kelas sambil membawa dua gitar. “Udah Mas, nih.” katanya sambil menyerahkan sebuah kertas. Mas Dimas mengangguk-angguk sambil membaca gambar dan tulisan kotak-kotak itu. Namanya juga denah. “Emang Pak Indranya belum bikin denah, Mas?” tanya Koko sambil memangku salah satu gitar yang di pegang Mas Dimas tadi. “Sudah, tapi yang untuk kolaborasi sama nasyid.” kata Mas Dimas. “Yang lain kemana, Al?” tanya Mas Dimas padaku. “Ada yang belum keluar dan ada juga yang di kantin, Mas.” jawabku. “Latihan dulu saja sama Koko. Ko, ajarin dia dulu biar temponya bisa lebih pas.” kata Mas Dimas sambil kembali memasuki ruangan setelah berkata pada Koko. “Nih.” kata Koko sambil memberikan gitar ke arahku. “Lagu yang apa dulu?” tanya Koko. “Terserah.” kataku sedikit (memang) jengah karena sedekat ini dengan Koko. “Kisah Klasik ya.” katanya sambil menyetem gitarnya. “Okke.” jawabku singkat sambil mulai menggenjreng gitarku.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
kita berbincang tentang memori di masa itu
. . . . . . .

           Satu demi satu temanku dan siswa Angkasa berdatangan dan mengikuti kami menggitar dan bernyanyi. Sampai siswa yang lewatpun ikut menyanyi bersama dan sebagian sampai berhenti karena tertarik dengan kami_hiburan setelah semesteran_.

. . . . . . .
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih ingin sanjungan kalian

           “Yeee!!” terdengar sorakan dan tepuk tangan dari kami, dan para siswa yang berhenti itu. “Padahal tadi temponya belum sama persis lho.” kata Koko setengah membisikiku masih dengan tepuk tangannya. “He’em.” jawabku singkat. “Sini semua, masuk sebentar.” panggil Mas Dimas dari depan ruang musik, diikuti dengan kecewa penonton yang belum puas dengan tontonan dari kami. “Hehe. Nanti aja ya, pas acara wisuda. Nanti nggak surprise lagi dong. Semua datang kan?” tanya Mas Dimas. “Pasti, Mas.” jawab mereka sambil berlalu dari tempat semula.

           “Nah, seperti itu nanti posisi di panggungnya. Iya kan, Ko?” tanya Pak Indra pada Koko. Koko mengangguk-angguk. “Yang band kelas XII cuman kamu, Ko?” tanya Pak Indra sambil mendekati Koko. “Nanti Pak, seperempat jam lagi.” jawab Koko. “Ya sudah, kamu latih mereka dulu ya. Persiapan untuk kolaborasi nanti.” kata Pak Indra sambil mengemasi barang-barangnya. “Iya, Pak.” kata Koko sambil memberi tanda bahwa kami harus segera keluar untuk kembali latihan.

           “Seminggu lagi kita tampil, jadi seenggaknya hari ini kita mesti bisa maduin tempo kalian sama grup paduan suara nanti.” kata Koko serius_baru ini ku lihat dia seperti ini. “Paduan suaranya mana, kak?” tanya Pita. “Nanti jam 1 kesini.” jawab Koko. “Kok lama banget sih, kak?” tanya Pita lagi. “Itu untuk mengkondisikan kesamaan tempo kalian dulu. Emangnya kalian udah sama temponya?” ledek Koko. “11-12 deh, kak.” jawab Irgi. “Apanya?” tanya Koko dengan senyumnya. “11-12 sama permainan gitar kakak. Nih kak, lihat.” katanya sambil bermain gitar. Tapi kemudian senarnya putus. Sorak-sorai mengiringi Irgi yang tersenyum malu sambil memainkan senar gitarnya yang putus. “Sudah, sudah. Ayo sekarang kita latihan lagi. mau lagu yang apa dulu?” tanya Koko sambil menahan tawa melihat ekspresi Irgi yang salting. “Buka Semangat Baru aja, kak.” saran Gilang. “Oke. Kalian main bareng dulu.” kata Koko sambil berdiri dari tempat duduknya. Kami langsung memainkan gitar kami. “Nih, nyante aja de’. Kakak nggak gigit kok.” kata Koko memberikan gitar pada Irgi yang masih berkutat dengan senarnya yang putus untuk memasang senar yang baru_karena dia tak bisa memasang dan menyetemnya_. “Makasih kak.” kata Irgi sambil bertukar gitar dengan Koko. “Nih. Nyante aja mainnya.” kata Koko sambil memberikan coklat “Choco” pada Irgi ketika mendengar suara gitarnya yang belum bisa pas. Irgi bingung. “Semua bisa jadi tenang kalo makan coklat.” kata Koko sambil menyetem gitar. Sepertinya dia memang benar-benar Chiko!! “Alya, samakan tempo. Jangan ngelamun.” kata Koko mengagetkanku. Dia tahu namaku? Padahal kami bercakappun baru tadi.

           “Finda! Aku nemuin Chiko!” kataku gembira ketika kami berangkat sekolah. “Chiko siapa?” katanya sambil mengingat-ingat nama itu. “Ooh.” katanya lagi tak tertarik. “Kok cuman oh sih?” protesku. “Emangnya siapa? Pasti dia juga orang yang mirip seperti dulu lagi.” katanya sangsi. “Enggak Fin, kali ini beneran.” kataku ekspresif. “Emang kamu udah tanya sama dia, kalo’ dia Chiko ato bukan?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Finda hanya melengos. “Cuman feeling. Habis dia mirip banget sih, Fin.” kataku membela diri. “Pastiin aja dulu, bener dia ato bukan.” kata Finda. Aku hanya mengangguk-angguk. “Emangnya siapa, Al?” selidiknya. “Bukan siapa-siapa kok.” kataku berpikir lagi. “Hm…” katanya dengan gaya detektif. “Besok tampil ya? Persiapannya udah mateng belom?” tanyanya. “97 persen.” jawabku singkat. “Nanggung banget. Yang tiga persen?” tanyanya lagi. “Yang tiga persennya berdoa bareng-bareng.” kataku cengengesan. “Al, dipanggil tuh.” kata Finda melirik ke arah orang di belakangku. Chiko?! “Koko?!” kataku tanpa menggunakan kata “kak”. “Eh, ada apa, kak?” Koko memicingkan matanya. “Kok ada apa? Kamu udah dicariin Mas Dimas. Cuman kamu yang belum ngumpul.” kata Koko sambil berbalik. “Iya, tunggu.” kataku menyusul Koko sambil tak lupa berkata “aku duluan” pada Finda.
           
           Tepuk tangan meriah mengiringi kami turun panggung. Ku lihat banyak anak yang terharu, bahkan sampai menangis ketika kami memainkan “Sebuah Kisah Klasik”nya Sheila On 7. Aku juga sepertinya mau menangis. Ikut terharu juga melihat kakak-kakak kelasku yang berangkulan terharu. Ku seka air mataku. “Hei, jangan nangis. Nih.” kata seseorang dari belakangku sambil menyerahkan coklat “Choco” dari belakangku. “Chiko?!” spontan aku memanggil Chiko karena aku benar-benar tengah mengingatnya. Aku palingkan wajahku, tapi ternyata dia Koko. “Eh, maaf.” kataku malu. “Nih, ambil.” katanya sambil menyerahkan coklat “Choco” di pangkuanku. “Terimakasih.” jawabku singkat. “Haha. Ternyata kamu masih ingat nama kecilku ya?” katanya sambil membuka bungkus coklat “Choco”. Aku hanya mengangguk. “Jadi bener kamu Chiko?” tanyaku balik. Dia hanya mengangguk sambil memakan coklatnya. “Kok bisa dipanggil Chiko?” tanyaku lagi. “Sebenernya sejak dulu aku dipanggil Koko. Terus ibuku sering manggil aku “Chiko” karena anak-anak tetangga yang biasa manggil aku Chiko.” ceritanya singkat. Aku hanya manggut-manggut. “Kok kamu sering ngasih coklat ke orang lain sih?” tanyaku. “Itu sih ada ceritanya.” katanya tersenyum misterius. “Apa?” tanyaku. “Ra-ha-si-a.” katanya sambil berjalan menuju panggung. Aku benar-benar penasaran. “Halo, semuanya. Walaupun hari ini adalah perpisahan kelas XII. Tapi sejujurnya, menurutku ini bukan perpisahan. Jangan rasakan pahitnya perpisahan. Karena perpisahan bukan akhir dari semua. Karena kita tak jelas tahu kapan akhir dan awalnya. Rasakanlah semuanya seperti coklat. Manis. Sangat manis. Sekalipun kadang terasa pahitnya, yakinlah disana banyak terasa manis yang akan kita rasakan. To all my friends. I love you.” kata Koko di atas panggung diikuti riuh rendah penonton, terutama kakak-kakak kelasku. “This song for you all.” kata Koko sambil mengaba-aba teman sebandnya untuk memulai. Ku lihat kakak-kakak kelas mulai maju ke depan panggung dan saling bergandengan tangan penuh haru.

My Choco
My choco is so sweet, very sweet
Like our memories in here
 In our school, second our home
Me and you, we, they, and other
We are family ever after
My choco is you, all of my friends
You know? You is my choco
You’re so sweet, although you’re so bitter
You’ll always in my hand, in my blood
You is you, my choco
You are my friends ever after
Yesterday, today, and tomorrow
We always together
In sweet memories
In bitter memories
You’ll always be my choco
Because, my choco is you
           Terdengar tepuk tangan meriah serta riuh rendah dari kakak-kakak kelas ketika “Choco” dari Chiko selesai. Suasana penuh haru menyelimuti kami. Ku lihat Chiko mengusap air matanya dengan sembunyi-sembunyi di belakang panggung. Entahlah, sekarang aku telah benar-benar menemukan Chiko. Tapi aku tak tahu apa yang akan kulakukan dan kukatakan padanya. “Al, ayo pulang. Sudah selesai kan?” tanya Finda mengagetkan aku. “Eh, eh iya.” kataku sambil masih memandang Chiko untuk terakhir kalinya sebagai siswa Angkasa. “Al, haru banget ya tadi, apalagi pas band XII main, pengen banget aku nangis.” kata Finda ditambah bla, bla, bla sepanjang perjalanan pulang. “Sebentar lagi kita yang kelas XII ya, Al. Rasanya cepet banget. Perasaan baru kemaren kita daftar SMP bareng-bareng.” katanya di depan rumahnya. Aku hanya mengangguk-angguk dan sesekali tersenyum mendengar celotehnya. Berarti sudah tidak bisa bertemu Chiko lagi ya? Kenapa aku tak mengatakannya tadi? Hm… sudahlah. Mungkin memang belum saatnya.
+   !   @   12   @
           “Finda, kita sekelas!” kataku begitu ku lihat Finda masih mencari-cari namanya di papan pengumuman pembagian kelas. “Bener?!” tanyanya tak percaya. Aku manggut-manggut penuh semangat. “Yuk langsung ke kelas.” kataku sambil menarik tasnya ketika dia masih tak percaya dengan yang ku katakan. “XII IPA 3 itu ruangannya yang di atas itu kan, Fin?” tanyaku ragu. Finda memicingkan matanya. “Jadi kamu belum tahu?” tanyanya balik. Aku mengangguk malu. “Mungkin iya. Kita kihat saja dulu.” kata Finda sambil menaiki tangga. Dari tangga, aku sudah mulai melihat papan bertuliskan ruangan kelasku itu. “Itu, Al. aku mau milih tempat duduk dulu.” kata Finda berlari menuju ke arah yang sedang ku perhatikan karena disana tampak beberapa anak lelaki yang tengah berdiri di depan pintu. Karena sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka. Chikokah?! “Kita satu kelas ya?” tanya Koko menghampiriku. “Lhoh kok?! Bukannya kamu udah lulus?!” tanyaku bingung. “Kata siapa?” tanya Koko balik. “Kamu kakak kelasku kan?” tanyaku ragu. Dia tertawa sambil menutup mulutnya. “Kalo’ aku udah lulus, ngapain aku disini?” tanyanya renyah. “Salah kamu sendiri nggak tahu siapa saja teman seangkatan kamu.” katanya masih tertawa. Aku kaget ples malu ples ples ples. “Aku memang deket sama kakak-kakak kelas kita. Dan aku juga jarang banget main sama anak-anak seangkatan, kecuali temen sekelas dan teman bandku. Jadi beberapa anak ngira aku kakak kelas. Ya kamu ini salah satunya.” cerita Chiko sambil menahan tawa. Kriiiiiiiing!!! Bel masuk terdengar. Sudah waktunya untuk upacara. Aku segera berlari ke lapangan utama, dan tak lupa menaruh tasku. “Finda!” panggilku pada Finda yang tengah mencariku di antara kerumunan anak kelas XII. Aku berlari, tanpa sengaja terantuk batu di depanku. Terjatuh. “Sudahlah. Ayo bangun. Jangan nangis lagi. Nih. sepertinya kamulah yang paling banyak dapet coklat dariku.” kata Chiko sambil memberikan coklat “Choco” dan menungguku berdiri. “Siswa-siswi Angkasa diharap segera memasuki lapangan utama!” terdengar pengeras suara memanggil kami. “Ayo. Cepet.” kata Koko sambil berlari. “Iya.” kataku sambil menyusulnya dari belakang dan tak lupa menyimpan coklat “Choco” di sakuku. At the last or the first or the middle, I can found you my choco Chiko. No. Not jus for me. But our choco Chiko that can make our smile and not sad again. Gumamku dalam hati sambil berlari di belakang Chiko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar