Ku kayuh sepedaku. Hari inipun masih saja ku lihat dia di halte depan SMA 2 sambil membaca buku. Entah buku apa. Selalu berbeda sampulnya. Dan aku hanya melihatnya dari seberang jalan, dekat gerbang sekolah ini. Apa mungkin dia Nayana Abdilla? Ah, sepertinya tidak mungkin. Kata Reno sangat mudah mengenali Nay, dia tak pernah sendiri, selalu dikerumuni teman-temannya. Ku lihat dari samping gerbang sekolah ini. Sekolah sudah sepi. “Permisi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” kata seorang satpam, menyalamiku, kemudian duduk di sebelahku. “Eh, nggak papa, Pak.” kataku tergagap seperti maling yang tertangkap. “Cari siapa, Mas? Dari beberapa hari yang lalu saya perhatikan Mas sering kesini dan sepertinya nggak ketemu sama yang Mas cari.” katanya. Wah, ternyata dia memperhatikanku. “Saya nyari Nayana Abdilla, Pak. Eh, maaf, lebih tepatnya pengen sekedar tau.” kataku. “Oh, Mbak Nay. Dia kalo pulang jam lima, Mas. Biasa, ikut ekskul dulu.” kataku. “Ekskul? Bukannya kelas 12 udah nggak boleh ikut ekskul lagi, Pak? Sekarang dia kelas 12 kan?” tanyaku. Pak satpam itu hanya mengangguk. “Ya, begitulah.” lanjutnya. “Memangnya nggak ada jam tambahan, Pak?” tanyaku lagi. Pak satpam itu hanya menggeleng. “Mas mau nunggu Mbak Nay atau saya panggilkan saja?” tanya Pak satpam lagi. Ku lihat jamku. “Saya pulang dulu saja, Pak. InsyaAllah kapan-kapan saya kesini lagi.” kataku. Pak satpam yang kemudian ku tahu bernama Pak Wahyu itu hanya mengangguk. Sesegera mungkin ku kayuh sepedaku menuju SMA 3. Iseng ku lihat di halte. Masih ada siswi itu. Sedang apa dia sebenarnya. Ku lihatt jam tanganku lagi. sebentar lagi terlambat!
“Kemana lagi kau, Man? Masih penasaran sama Nay?” tanya Reno begitu aku sampai di kelas. Aku hanya tersenyum. “Man, dicari tuh sama Pak Wan. Katanya di suruh ke ruang ekskul.” kata Winda sambil memberikan surat ijin tidak masuk kelas padaku. Ku baca surat ijin itu. Rapat persiapan lomba? Ku ambil tasku. Ku kira dia marah dan tak lagi menganggapku ada. “Nanti aku pinjemin catatanku, Man!” kata Reno begitu melihatku keluar kelas.
“Hilman! Hilman! Hilman!” ku dengar sorak sorai teman-temanku begitu Mas-Mas MC akan mengumumkan juara satu lomba menulis tahun ini. “Tenang, Man. Pasti kau yang menang seperti tiga tahun ini.” kata Reno sambil menepuk bahuku. Aku mengangguk. Ku harap juga begitu. Kataku dalam hati. “juaranya adalah . . . Nayana Abdilla dari SMA 2.” kata Mas-Mas MC itu. Bukan aku? Teman-temanku yang semula bersorak sorai langsung mengerem suara mereka. “Siapa dia? SMA 2? Bukan Hilman?” ku dengar teman-temanku mulai berdengung. “Nggak mungkin, gimana bisa?” ku dengar suara Reno menghampiri dengungan mereka. Siapa dia? Nayana Abdilla? Ku dekati Pak Wan. Dia melihatku tanpa ekspresi, kemudian pergi. “Bersyukurlah, Man. Kau dapat juara dua.” kata Reno menghiburku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ku maju ke panggung dan ku lihat di sebelahku, yang mengambil piala adalah gurunya, bukan Nayana.
“Sini, Man. Masuk.” kata Riza melambaikan tangan ke arahku. Ku dengar arahan dari Pak Wan tentang lomba bulan depan.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa dapat juara satu.” kataku menghampiri Pak Wan begitu penyerahan piala selesai. Pak Wan hanya diam sambil merapikan buku-bukunya. Aku membantunya. “Sudahlah, Man. Pulanglah. Carilah ide. Bapak kira mungkin dia akan ikut lagi. Saya harap kamu bisa mengambil hak kamu lagi.” kata Pak Wan sambil mengambil bukunya dari tanganku, kemudian pergi. “Apa Bapak tahu bagaimana cerita yang ditulis Nayana? Apa yang membuatnya lebih berhak dari saya, Pak?” tanyaku mensejajari jalnnya. Pak Wan berhenti. Menatapku lekat. “Ceritanya punya sesuatu yang tak dimiliki ceritamu.” katanya. “Apa itu, Pak?” tanyaku. “Carilah sendiri.” katanya kemudian pergi. Apa ini termasuk rahasia dewan juri? Baiklah akan ku cari sendiri.
“Bagaimana, apa kalian sudah punya materi untuk lomba nanti?” tanya Pak Wan pada kami. “Saya harap kalian sudah menemukan apa yang akan kalian tulis.” lanjutnya begitu melihat ekspresi kami yang komplit. “Saya harap, sekolah kita juga bisa mendapatkan piala bergilir itu lagi.” kata Pak Wan lagi, tanpa melirikku. Aku harus tahu apa yang membuat Nayana labih baik dariku. Atau setidaknya aku bisa mendapatkan ceritanya itu.
Hari ini aku harus mencari tahu. Ku kayuh sepedaku menuju SMA 2. Ku lihat siswi itu lagi di halte. Ku parkirkan sepedaku. “Permisi, Pak.” sapaku pada Pak wahyu. “Oh, Mas yang kemarin. Cari Mbak Nay lagi?” tanyanya. Aku mengangguk. “Sekarang lagi jam tambahan, Mas.” katanya. “Disini, pulang sekolah langsung jam tambahan yang jam pertama, nggak pake istirahat dulu.” lanjutnya. Aku mengengguk mengerti. “Selesainya jam berapa, Pak?” tanyaku. “Kalau yang jam pertama selesai jam dua, Mas.” katanya. “Pulangnya jam empat.” tambahnya sebelum ku tanya. Aku mengangguk-angguk lagi. Untung hari ini nggak ada jam tambahan. Jadi aku bisa menunggunya. “Mas mau nunggu?” tanya Pak Wahyu. Aku hanya mengangguk. “Silahkan masuk, Mas.” lanjutnya. “Terimakasih, Pak. Saya tunggu di halte saja.” kataku sambil melihat di halte dan siswi itu. “Oh iya, Pak. Siswi sini yang biasa di halte itu siapa ya, Pak?” tanyaku. “Siswi mana, Mas?” tanyanya sambil memandangi halte, kemudian memandangiku. Ku pandangi halte. Sepi. “Kalau jam segini sudah pulang semua, Mas. Sudah sepi haltenya. Paling-paling cuman warga sekitar sini.” lanjutnya. Ku pandangi halte itu lagi. Sudah tak ada lagi siswi itu. “Ya sudah, Pak. Saya tunggu di sini saja.” kataku sambil terus memandangi halte itu.
Ku pandangi buku kecil di depanku. Masih ragu untuk ku buka.
“Kata Pak Wahyu kau mencariku. Ada yang bisa ku bantu?” tanya seorang siswi berkerudung menghampiriku. Inikah Nayana? Cantik. Eh. Aku mengangguk. Dia buka tasnya. “Apa kau mau pinjam ini?” tanyanya lagi sambil memberikan sebuah buku kecil padaku. Catatan Kecil. “Bawa saja. Nggak perlu dikembaliin. Sekarang kau kan temanku juga.” katanya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya itu. Eh. “Ta...” kataku, tapi dipotongnya. “Kau Hilman dari SMA 3 kan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. “Syukurlah aku tak salah orang, kata Pak Wahyu kau mencariku beberapa hari ini. Maaf ya, baru bisa ketemu.” katanya lagi. “Aku pergi dulu ya.” katanya kemudian pergi. “Nay.” panggilku. Dia menoleh. “Terimakasih.” lanjutku dia tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku, kemudian pergi. Dia benar-benar tak memberi kesempatan untukku bicara selain itu dan memanggil namanya. “Sudah ketemu sama Mbak Nay, Mas?” tanya Pak Wahyu yang baru datang dari toilet. Aku mengangguk.
Ku buka buku mini ini. Benar-benar seperti buku, tapi buatan sendiri dan isinya juga tak hanya satu cerita. Kalau aku? Hanya ku simpan di laptopku. Ku buka halaman per halaman. Iya, ada sesuatu yang tak ku punya. Ceritanya lebih nyata, seperti sedang curhat. Apa ini yang membuatnya lebih dariku? Ku lihat di halaman terakhir ada biodatanya. Sayang tak ada fotonya. Kataku sambil membacanya. Tiba-tiba ku teringat wajahnya. Eh. Apakah aku? Ah, tidak, tidak. Oke, aku akan mulai. Ku ambil laptopku. Satu jam berlalu. Ku pandangi laptopku. Masih kosong. Cerita seperti apa yang akan aku tulis. Curhat ya? Apa ya? Ku coba mengetik. Ah, tidak. Ku hapus dan ku ketik lagi. Tak bagus. Diam. Ku ketik lagi. diam. Ku hapus lagi. Bagaimana ini? Apa aku konsul saja ke Pak Wan? Tidak, tidak. Bisa marah dia kalau tahu aku baru akan mulai menulis. Atau? Oke, baiklah. Kataku dalam hati sambil tersenyum.
Ku kayuh sepedaku begitu bel pulang berdentang. Syukurlah hari ini ada rapat untuk try out minggu depan, jadi tak ada jam tambahan hari ini. Rasanya jarak satu kilometer tak terasa jauh. Ku tersenyum sambil membenarkan letak helm di kepalaku akibat melewati polisi tidur dengan terlalu kencang. Sepertinya hari ini akan sangat menyenangkan. Eh. “Cari Mbak Nay lagi, Mas?” tanya Pak Wahyu mengagetkanku. “Eh, iya Pak.” kataku kaget. “Kebetulan Mbak Nay-nya ada jam tambahan. Mau nunggu?” tanyanya sambil masuk ke posnya. Aku mengangguk. “Silahkan, Mas.” katanya. Ku lihat di halte. Ada siswi itu. “Saya tunggu di halte saja, Pak.” kataku. “Oke.” katanya. “Nanti saya sampaikan ke Mbak Nay, Mas.” katanya. “Sepedanya bawa masuk sini saja.” katanya lagi begitu melihatku bingung mengamankan sepedaku. “Terimakasih, Pak.” kataku.
Ku lihat dia masih memegangi bukunya. Apa dia tak menyadari aku duduk di sebelahnyya? “Maaf, apa kau siswi sini?” tanyaku ragu. Dia menurunkan bukunya. “Eh, maaf. Ada orang ternyata.” katanya sambil merapikan kerudungnya. Benar, ternyata dia tak tahu ada orang di sebelahnya. “Apa kau siswa sini?” tanyaku ulang. “Iya.” jawabnya singkat sambil melepas kacamatanya. “Aku Hilman, siswa SMA 3.” kataku. “Hilman? Aku Na...Nana. Siswi sini.” jawabnya. Ternyata dia tak sependiam yang aku kira. “Maaf, beberapa kali ku lihat kau di sini. Sendirian.” kataku. “Oh ya? Aku tak tahu ada orang yang memperhatikanku. Aku senang membaca disini. Sendirian.” katanya sambil memasukkan buku yang tadi dibacanya dan kacamatanya itu ke dalam tasnya. “Kau kelas berapa, Na?” tanyaku. Dia menunjukkan jarinya. “Kenapa kau tak ikut jam tambahan?” tanyaku kaget begitu ku tahu dia seangkatan denganku. “Ssstt. Sebenarnya aku bolos.” jawabnya agak pelan dan jujur tentunya? “Benarkah? Setiap hari?” tanyaku kaget karena ku kira dia tak se”nakal” itu. Dia mengangguk. “Eh, tidak setiap hari kok.” katanya membela diri. “Jangan beritahu siapa-siapa ya.” katanya pelan. Aku manggut-manggut. “Apa kau menunggu seseorang?” tanyanya. Tepat. Aku hanya mengangguk. “Siapa? Mungkin aku kenal.” katanya. “Nayana Abdilla.” kataku sambil melihat jamku barangkali sudah waktunya jam pulang. “Nayana? Apa kau Hilman Anggoro?” tanyanya sambil memandang lekat ke arahku. Kikuk juga aku dipandangi seperti ini. “Hilman yang sering dapet juara nulis cerita itu?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Nggak sesering itu. Kemarin aku kalah. Dari Nayana tentunya.” kataku sambil mengggaruk kepalaku yang tak gatal. “Tapi kan kau dapat juara dua.” katanya lagi. Dia tahu tentangku. “Apa kau mengenalku?” tanyaku. “Eh, tidak. Aku hanya pernah dengar saja.” katanya, tak lagi memandangiku. “Kalau boleh tahu, ada apa kau mencari Nayana?” tanyanya. “Aku hanya pengen konsul.” kataku. “Konsul? Apa?” tanyanya lagi. Ku pandangi dia. “Eh, maaf. Barangkali aku bisa bantu. Walaupun aku bukan orang yang kamu cari, setidaknya mungkin aku bisa bantu kamu. Kan sekarang kita temenan.” katanya sambil tersenyum. Baiklah. Aku bisa menemukan bintang dimanapun. Ku ceritakan tentang kebingunganku tadi malam. “Wah, ternyata seorang Hilman bisa juga seperti itu.” katanya tertawa begitu mendengar ceritaku. Ku pasang wajah jengkel. Dia meminta maaf. “Menurutku, curhatan itu nggak perlu langsung dari kamu, Man. Kamu bisa aja jadi seseorang yang ingin kamu ceritakan. Nggak harus jadi kamu yang ngalamin, tapi jadilah kamu yang ingin kamu tulis. Menurutku begitu.” katanya. Ku pikirkan kata-katanya itu. “Maksudnya gimana, Na?” tanyaku. Nana nggak ada di sebelahku. “Na.” panggilku begitu ku lihat dia di belakang pohon besar di sebelah halte ini. Dia meletakkan telunjuknya ke bibirnya. “Mas.” pnggil Pak Wahyu sambil melambaikan tangan ke arahku. Itu ternyata. Ku lambaikan tangan ke arah Nana. Pertanda pamit. Tak mungin aku bicara untuk sekedar pamit. Bisa ketahuan Pak Wahyu nanti. Nana hanya mengangguk. “Maaf, Mas. Sudah menunggu lama. Hari ini Mbak Nay ada ekskul, Mas. Jadi langsung masuk ke ekskul.” kata Pak Wahyu. Aku hanya manggut-manggut. “Maaf ya, Mas. Apa saya minta nomer mas saja, biar nanti saya kasihkan ke Mbak Nay?” tanyanya. Tanpa pikir panjang ku berikan nomer hapeku pada Pak Wahyu. Tak apalah, setidaknya aku sudah bertemu Nana. Nana? Dimana dia? Ku lihat dia belum juga muncul dari balik pohon. Aku tersenyum memandangi halte itu. “Ada apa, Mas?” tanya Pak Wahyu melihat ke arah pandanganku. “Nggak ada apa-apa, Pak.” kataku sambil mengambil sepedaku. “Terimakasih, Pak.” lanjutku. Pak Wahyu hanya manggut-manggut sambil tersenyum. Ku lihat ke arah halte lagi. Belum muncul juga dia. Apa sudah pulang? Ku lihat pohon itu. Sepertinya tak ada orang. Ah, untuk apa aku memperhatikannya. Ku kayuh sepedaku. Ku lirik pohon itu. benar-benar tak ada orang.
“Na, aku masih bingung maksudmu. Belum ada perubahan di ceritaku.” kataku sambil menyerakhan tulisanku. Kali ini aku datang untuk bertemu Nana, bukan Nayana. Dia membacanya. Agak lama. Ku pandangi dia. Dia menepuk kepalaku dengan lembaran ceritaku. Ah, aku ketahuan. “Kau kurang bekerja keras, Man. Sebenarnya udah bagus. Hebat juga kau dua hari udah bisa nulis cerita kayak gini. Tapi, ada yang kurang.” katanya. “Apa?” tanyaku singkat. “Apa ya?” dia berpikir. “Menurutku ini kurang nggreget.” lanjutnya. “Kurang nggreget?” ulangku. Dia hanya manggut-manggut.
Dua minggu berlalu. Ku pandangi layar laptopku. Apakah seperti ini yang dimaksud Nana kemarin? Ku pandangi hapeku. Nayana tak menghubungiku. Akupun sejak hari itu tak datang menemuinya. Aku juga beberapa kali ini kesana untuk bertemu Nana. Tak usah berpiran macam-macam. Aku hanya berdiskuusi tentang ceritaku padanya? Dan perasaanku waktu datang untuk menemui Nay menguap begitu saja. Hei, hei, kembali ke fokus. Baiklah, nanti akan aku serahkan langsung pada Pak Wan. “Man, ayo masuk. Bu Yanti udah datang.” kata Reno di depan pintu ruang ekskulku. “Oke.” kataku sambil menutup laptopku.
“Seperti ini, Pak.” kataku sambil menyerahkan tulisanku. Pak Wan hanya manggut-manggut, tapi tadi jelas ku lihat dia tersenyum. Apa tulisanku sudah ada kemajuan? “Bagaimana, Pak?” tanyaku. “Edit sesuai EYD.” kata Pak Wan, kemudian membaca karya temanku yang ada di sebelahku. “Terimakasih, Pak.” kataku. Berarti dia menyukainya. Baiklah, lembur untuk nanti malam. Kataku sambil merapikan alat tulisku.
Ku pandangi kertas-kertas di tanganku. Syukurlah. Selesai juga. Ku pandangi hapeku. Sepertinya dia benar-benar lupa padaku. Ku aktifkan hapeku. Ada sms. Pantas saja aku tak tahu. Aku silent. Reno dan siapa ini? Nayanakah? Aku tak berharap tapi syukurlah kalau itu dia. Hei, apa aku menyukainya? Tidak. Oh, aku agak lupa wajahnya. Benar. “Maaf baru bisa menghubungimu. Aku tunggu kau minggu depan.” katanya. “Apa ini kau, Nay?” tanyaku padanya. Ku tunggu dia membalasku. Aku ingat wajahnya. Ya, benar. Tapi, aku sudah tak merasakan “itu” lagi. Sepertinya sudah benar-benar menguap. Aku tersenym lebar. Aku berharap padamu. Kataku pada lembaran kertas di hadapanku. “Ssstt” Eh, apakah barusan aku mengingat Nana? Ah, setidaknya aku telah menuruti nasihatnya. Ayo berjuang. Kataku lagi pada lembaran kertas di hadapanku.
Waktunya tiba. Terlihat telah ramai Gedung Pertemuan Umum ini. Apa ini? Polling cerita terfaforit? Ku ambil buku mini di samping papan ini. Ada juga yang seperti ini. Ku cari Nayana Abdilla di daftar isi. Tidak ada? Ah, tidak mungkin. Ku langsung buka halaman per halaman ini tanpa melihat daftar isi lagi. Ini dia. Nomor 38 ternyata. Belum? Judul yang singkat. Ku baca sambil berjalan dan duduk di bangku sebelah Reno. “Ceritamu keren, Man. Lebih bagus dari yang kemarin.” katanya. Aku hanya mengangguk-angguk. “Tenang saja, aku akan memilihmu.” kata reno lagi. Aku hanya mengacungkan jempolku. “Apa kau baca punya Nayana?” tanyanya. Ku alihkan pandanganku ke arahnya. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Apa kau sudah bertemu dengannya?” aku mengangguk lagi masih tersenyum. “Kau pinjam ceritanya yang kemarin menang?” aku mengangguk, tersenyum. “Atau kau malah punya ceritanya?” aku tersenyum, mengangguk. “Apa dia cantik?” aku mengangguk, tersenyum juga. “Dia baik?” aku manggut-manggut dan tersenyum. “Kau punya nomor hapenya?” selidiknya. Aku masih manggut dan tersenyum. “Kau menyukainya?” aku belum berhenti. Eh, apa? “Tentu saja nggak.” kataku. Dia tertawa melihat perubahan ekspresiku itu. “Sudah sana pilih aku.” kataku mengusirnya. Dia pergi dan masih tertawa. Ku lihat buku mini di tangan kiriku. Apa aku harus memilih diriku sendiri? Ku lihat hapeku. Berdering. Nayana. “Ku harap kau sudah datang, Hilman Anggoro.” katanya. Aku tak membalasnya. Aku langsung bergegas menuju ke tempat polliing sebelum pengumuman pemenang dimulai.
Ah, apa aku sudah mulai gila? Ku pandangi piala ini. Dan fotoku.
“Pemenang lomba menulis cerita terfavorit adalah... siapa ya kira-kira?” tanya Mas-Mas MC itu, mereka MC yang kemarin. Teman-temanku langsung meneriakkan namaku. Masih saja mereka setia padaku. Terharu aku. “Siapa?” tanyanya lagi. Mereka meneriakkan namaku lagi. “Hilman Anggoro dari SMA 3. Selamat untuk hilman. Ayo hilman, silahkan maju kemari.” katanya. Aku tak menyangka aku menang. Aku maju dengan suka cita. Tapi belum sepenuhnya, karena aku masih dag dig dug pengumuman berikutnya. Ku lihat dari bangku penonton Nayana melambaikan tangan ke arahku. Aku hanya mengangguk dan berdiri di samping Mas-Mas MC ini. “Dan berikutnya, pemenang lomba menulis cerita terbaik adalah... Siapa?” tanya mereka. Teman-temanku meneriakkan namaku lagi. “Waah, Hilman ini sepertinya banyak penggemarnya ya.” kata salah satu dari mereka sambil memandangiku. “Iya, tapi kok cowok semua ya.” kata Mas-Mas yang satunya lagi. Dia memandangiku. Tertawa. Aku juga ikut tertawa. Yang lain juga ikut tertawa. Nayana juga, di sebelah kiri panggung. Nana juga, di sebelah kanan panggung. Nana? “Dan pemenangnya adalah... Nayana Abdilla dari SMA 2.” kata mereka. Dia lagi? “Dan runner up-nya adalah Hilman lagi. Eh, maaf, Maksudnya Hilman Anggoro. Silahkan Nayana maju ke sini.” Semua bertepuk tangan. Reno juga. Aku juga. Nayana juga. Nayana? Kenapa dia tak maju? “Ayo.” kataku berbisik padanya. Dia menggeleng. Apa dia diwakilkan gurunya lagi? Aku sedikit melambaikan tangan padanya. Dia masih menggeleng. Dia menunjuk ke arahku. Ke arahku? Atau lebih tepatnya sebelahku? Apakah gurunya sudah datang ke panggung? Ku lihat di sebelahku. “Kali ini kau yang tidak sadar ada aku di sebelahmu.” kata nana tersenyum ke arahku. I was surprise! And, I’m happy?
“Sudahlah, Man. Piala itu nggak bakal ilang. Tenang aja.” kata Reno mengagetkanku. “Kenapa nggak ketok pintu dulu?” tanyaku. “Udah, tapi kamu nggak denger.” katanya sekenanya. Dia selalu masuk ke kamarku seperti memasuki kamarnya sendiri. “Jadi, siapa yang kau pilih. Ini atau ini?” tanyanya sambil menunjukkan fotoku. “Apaan?” tanyaku mengambil fotoku, tapi dengan sigap dia menghindar. “Gimana ceritanya kamu bisa nggak tahu Nayana yang mana?” tanyanya. Aku pun cerita dari awal sampai kejadian tadi siang. Reno tertawa mendengarnya. “Haha. Jadi, dia itu adiknya Nay. Dan kamu tanpa tanya langsung nyangka kalau yang ngasih buku mini itu Nay?” tanyanya masih tertawa. “Dia, Kiki namanya, nggak ngasih kesempatan aku buat ngomong. Tapi dia noleh kok waktu aku panggil Nay.” kataku membela diri. “Bodoh.” katanya sambil memandangi fotoku. “Kenapa bukan Nay sendiri yang ngasih?” tanyanya. “Satu bulan ini dia kabur setelah pulang sekolah, nggak kabur beneran. Dia di halte nunggu adiknya yang ikut ekskul. Dia mau fokus ke UN, tapi dikejar sama gurunya buat ikut lomba ini. Jadilah dia sering baca di halte kayak yang aku lihat.” jelasku. “Nggak ketahuan tuh dia?” tanya reno. “Nggak. Dia langsung sembunyi di belakang pohon di sebelah halte kalau ada orang yang keluar dari sekolah.” terangku. Reno manggut-manggut. “Aku rasa kamu milih yang ini.” kata Reno sambil menunjuk foto orang yang ada di sebelah kananku.” katanya. “Ini foto terbaik yang aku ambil tadi. Dan lihat ekspresi kalian ini.” katanya sambil menyerahkan fotoku itu. Dia menggelengkan kepalanya. “Seumur-umur aku baru lihat kau seperti ini, Man. Dan kau juga nggak marah dapat juara dua. Nggak kayak kemaren. Aneh.” Sambungnya. Aku tersenyum simpul. Ku lihat walpaper hapeku. Tepat, Ren. “Jadi, gimana selanjutnya? Ini lomba terakhirmu kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Ayolah kita fokus dulu ke UN. Kau kesini mau belajar kan?” kataku mengalihkan pembicaraan. “Ah, iya. Aku lupa.” katanya sambil mebuka tasnya. Ku letakkan hapeku dalam keadaan terbalik. Bisa gawat kalau Reno tau walpaperku. Terimakasih ya. Kataku pada lembaran cerita di mejaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar