" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Senin, 26 Maret 2012

KARNA INGIN

                “Berhentilah menangis. Tak kan kau dapat sesuatu yang lebih baik jika kau menangis karena sesuatu yang belum bisa kau selesaikan.” Kata Ridwan di sampingku. Aku mengelap air mataku. “Kenapa kau berkata begitu? Aku saja tak tahu kenapa aku menangis.” Kataku. Ridwan tersenyum simpul. “Aku hanya ingin menangis saja.” Kataku sambil mengelap kering air mataku. Ridwan tersenyum lagi. “kau mau pulang sekarang?” tanyaku. Dia mengangguk. “Iya. Setelah itu baru ke apotek.” Katanya lagi sambil berdiri. “Mau nebeng aku?” tawarku. Ridwan menggeleng. “Pulanglah saja sendiri. Aku nggak mau jadi curhatan kamu.” Katanya sambil tersenyum jahil. Aku diam. “Pulanglah. Aku jalan kaki saja.” Katanya, sambil menarik tasku agar aku berdiri. “Okke. Okke. Aku pulang sekarang.” Kataku ketus sambil berjalan ke parkiran motorku. Parkiran telah sepi, hanya ada beberapa motor adik-adik kelas yang sedang ekskul. Ku starter motorku, tak lupa ku pakai jaket sebelumnya, biar tidak sering masuk angin kata ibuku. Ku lewati gerbang sekolahku yang sebentar lagi ku tinggalkan ini. Tak nampak lagi Ridwan di sekitar sini. Mungkin
sudah dapat angkot. Ridwan adalah sahabatku, aku yang menganggapnya begitu. Dianya? Sukasuka dia. Sebenarnya ada satu lagi sahabatku, Dea, tapi hari ini dia pulang lebih awal dari kami. dan memang sudah seharusnya aku menghentikan kebiasaanku ini. Menangis karena ingin.
                “Hei, jangan lupa belajar. Besok masih TO.” Kata Dea mengingatkanku, lebih tepatnya mengirim pesan padaku. “Siipsiip.” Jawabku. Dea tak membalasnya. Sepertinya hanya sekedar mengingatkanku. Besok adalah kimia. Ayo semangat, Lintang. Bisa lulus dan bisa jadi mitra kerja Pak Joko, biar bisa belajar lebih banyak lagi dari beliau. Amin. Hape’ku berdering lagi. sms. Nomor siapa ini? Pemberitahuan nomor baru. A. Rama? Baru kelihatan dia. Kemana aja? Ah, sudahlah.

                “Horee, selesai juga nih ujian.” Sorak Dea sambil memeluk bahuku. Aku hanya tersenyum mengangguk. “Ridwan mana, Ntang?” tanya dea celingukan begitu melewati ruangan Ridwan yang telah sepi. Aku hanya mengedikkan bahuku pertanda tidak tahu. Dea masih celingukan kesana kemari mencari Ridwan. “Sudahlah, De. Nanti juga Ridwan bakal nyari kita. Kita jajan di depan aja yuk.” Ajakku. “Okke.” Jawabnya singkat sambil menggandeng tanganku. “Hei, itu ada Rama juga.” Kata Dea sembari berlari. “Rid, kemana aja. Aku cariin kok nggak ada. Hei, Ram.” kata Dea sembari duduk di samping rama. “Sorry, sorry. tadi aku langsung keluar buat nganter Rama daftar online.” Jawab Ridwan. “Sini, ntang,” ajak ridwan begitu melihatku sedang melepas sepatuku. “daftar dimana kamu, ram?” tanya dea. “de, kamu mau pesen apa?” potongku. “sama kayak kamu aja, ntang.” Jawabnya tak memandangku. “Bu, pesen mpekmpek tengirinya dua porsi,  sama es tehnya dua.” Kataku. “di goreng garing ya, mbak?” Tanya bu rani, penjual mpekmpek palembang di depan sekolahku, aku sanksi beliau orang palembang asli, tapi mpekmpeknya asli enak banget. “aku bantuin bikin es tehnya ya, bu.” Kataku tanpa menunggu jawaban bu rani, dan menuju ke tempat pembuatan minuman. “nih, de.” Kataku sembari meletakkan segelas es teh di depannya. “makasih.” Jawabnya singkat. “dingin banget,  ntang.” Kata dea sambil memasukkan es batunya ke dalam gelasku. “yee, katanya tadi sama kayak punyaku.” Jawabku. Dea hanya mencibir. Ku lirik rama. Masih mengobrol ria dengan ridwan. “de, arah jam tiga.” Kataku. Dea melirik jamnya. “Bukan.” Kataku. “arah jam tiga.” Kataku lagi. dia tampak celingukan. “apa?” tanyanya. “udah pergi.” Kataku sambil menyeruput es tehku yang sangat dingin. “siapa?” tanyanya. Ku tunjuk bagian tulang pipi kananku. “mana, mana?” tanyanya. “udah pergi.” Jawabku. “yaah. Kok nggak bilang dari tadi sih?” “tadi kan aku udah bilang. Katamu jangan keras keras kalau mau ngasih tahu ada dia. Ya udah.” Kataku tak mau di salahkan. Ku lihat di seberang jalan sudah terlihat pak jaka. “hei, aku pamit dulu ya.” pamitku. “mau kemana, ntang?” tanya ridwan dan dea hampir bebarengan. Aku menunjuk ke arah pak jaka yang tengah berjalan mengobrol dengan pak fauzi, satpam sekolahku. “mpek-mpek’nya nggak dimakan dulu, mba’?” tanya bu ranti sambil membawa dua piring mpek-mpek di tangannya. “Buat ridwan aja, bu.” Kataku sembari memakai sepatuku dan berlari menuju ke arah pak jaka.
                “mas, beli perlengkapan p3k.” Kataku kepada mas-mas yang sedang sibuk di meja kasirnya. “iya, mbak.” Jawabnya tanpa menoleh. “ini pak, kembaliannya.” Katanya melewatiku dan memberikan kembalian pada laki-laki yang dipanggilnya ‘pak’ itu. “kau, ntang. Mau beli apa?” tanyanya. “perlengkapan p3k.” Jawabku. “serius?” tanyanya. Aku mengangguk. Ku lihat dia mondar-mandir mencari pesananku itu. “mau pergi kemana kau?” tanyanya begitu selesai mencari pesananku. “nggak kemana-mana.” Jawabku. “hai, tadi aku kekenyangan tau. Ada urusan apa kau mencari pak jaka?” tanyanya sembari menghitung barang yang harus ku bayar. Aku diam. Ridwan memandangiku. “sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu.” Jawabku. “semuanya empat puluh tujuh ribu delapan ratus.” Katanya. Kusodorkan uang berwarna biruku. “nih.” Katanya sambil menyerahkan kembalianku. “trimakasih ya, mas.” Jawabku sambil nyelonong pergi. Ku lihat ridwan masih melongo melihat tingkahku barusan. Tapi segera dia layani pelanggan apotek selanjutnya.
Ada sms. Dea. “kau beneran suka sama pak jaka, ntang?” tanyanya. Ku tahan tawaku begitu ku baca smsnya. Sms malam begini cuman tanya ini? “kata siapa?” tanyaku. “selama ini kamu beneran bercanda kan. Kayak siswi lain yang suka sama pak jaka?” tegasnya. “yap.” Jawabku singkat. “syukurlah. Ada urusan apa kau sama pak jaka, ntang?” tanyanya lagi. “Tadi aku cuman tanya tentang universitas.” Jawabku. Dea hanya meng-‘oh’. Tak kujawab. Diapun tak sms lagi. jam kamarku sudah menunjukkan jam sebelas lebih. Saatnya untuk tidur. Tak lupa ku berdoa. Sambil berpikir tentang kejadian hari ini dan harapan di esok hari. Sepertinya kabar dari pak jaka tadi jangan dulu diberitahu dea dan ridwan.

“rama mau kuliah di dharmajaya.” Kata ridwan setengah berbisik padaku. Aku memandanginya. Diam. Diapun ikut diam. “hei, rid. Siapa cewek yang tempo hari kau ceritakan padaku?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “yang mana?” tanya ridwan bingung. “yang katamu rasanya lebih dari dari yang kau rasakan sebelumnya pas kamu suka sama putri.” Kataku agak berbisik. Ku lihat ridwan mulai berpikir. “oh, yang itu.” katanya datar tak memandangiku. Ku lihhat arah pandangan matanya. Ada malik di sana. Malik? “dia, rid?” tanyaku agak tak percaya. Ridwan diam. “tenanglah, kan ada kamu di sini.” Katanya tersenyum jahil. “huu.” Kataku akan menginjak kakinya. Tapi tak bisa karena aku tengah memakai seperangkat kebaya. Ku lihat malik. Dea melambai ke arahku.  Aku balas melambai. Ku senggol ridwan. Ridwan ikut melambai sambil tersenyum. Getir. menurutku ridwan itu sosok yang cukup ideal. Pintar, pekerja keras, mandiri, kritis, ramah. Apalagi? Itu menurutku. Tapi dea memang lebih menyukai teman sekelasnya itu. apa mau dikata? Aku juga tak tahu kenapa aku juga tak bisa suka pada ridwan. Padahal dia tipeku. Tapi ternyata kriteria tak berpengaruh pada rasaku. Ridwan dan dea adalah sahabatku. Mereka sudah ku anggap saudara bagiku. “hei.” Panggil seseorang. Aku dan ridwan menoleh ke sumber suara. Rama. “rid, aku duduk dimana?” tanyanya. “sini, sini. Tadi aku tukar bangku sama adin. Iya kan, din?” kata ridwan. Ku lihat adin mengangguk sambil tersenyum. Dia sangat cantik hari ini. Rama duduk dianttara ridwan dan adin. “hai, din.” Sapa rama. Ku lihat mereka mulai mengobrol sesuatu yang menyenangkan. Mungkin. Ridwan menyenggol bahuku. “ayo berdiri.” Katanya. Kami berdiri karena lagu nasional yang tengah diinyanyikan kemudian dilannjutkan lagu terimakasihku. Ku dengar isakan dari beberapa orang. Tiba-tiba ada sesuatu yang merasukiku. Aku ikut terharu. Sepertinya kami sampai menangis begitu lagu tentang kitanya peterpan dinyanyikan oleh tim paduan suara sekolah kami. hari ini, hari terakhir kami sebagai siswa SMA Angkasa.

“ridwan.” Panggilku. “hei, ntang.” Ridwan memandang bingung ke arahku. “ngapain kamu di sini?” tanyanya bingung. “kayak kamu.” Kataku riang. “koo nggak ngasih tahu kalo kamu di terima di sini.” Katanya agak cemberut. “kejutan.” Kkataku lebih riang. Ridwan berjalan meninggalkanku. “hei, rid.” Kejarku.
Setelah wisuda sma kemarin, terdapat pengumuman siswa yang diterima melalui jalur  snmptn undangan. Aku menemani ridwan melihat pengumumannya. Ada ridwan dan dea terpampang di sana. “selamat ya, rid.” Kataku gembira. “trimakasih.” Katanya tersenyum. “ayo kita cari dea.” Kataku sambil menarik jasnya. “hei, nanti jasku rusak.” Katanya. “eh, maaf.” Kataku sambil terus berjalan. Ini saatnya menceritakan kabar dari pak jaka tempo hari. “dea.” Panggilku. “selamat ya.” lanjutku. Dea memellukku terharu. “kau juga diterima, malik?” tanyaku. Malik mengangguk. Ku salami dia dan tak lupa mengucapkan selamat. “aku sama ridwan udah diterima, ntang.” Katanya dengan matanya yang sudah sembab. Aku mengangguk semangat. “terus kamu gimana?” tanyanya. “sini, aku mau cerita. Bentar ya, mal.” Kataku sambill menarik dea dari kerumunan. “ridwan mana?” tanyanya.  Ridwan? “tadi dia di belakangku.” Kataku sambil celingak celinguk mencarinya. Hilang kemana dia?

“Hei, ada telpon.” Kata rama sambil memegeng hapeku. Ku lihat. “nggak ada kok.” Kataku begitu ku lihat layar hapeku tak ada pemberitahuan. “tadi.” Katanya sambil menyeruput es jeruknya. Aku hanya meng”oh”. “dari siapa? kau terima?” tanyaku. “iya, ku  terima. Katanya dari rama.”  Jawabnya. “rama?” tanyaku. Dia hanya mengangguk. Ada apa dia tumben-tumben begini. “tapi tadi dia aneh, pas aku bilang ini ridwan malah dimatiin. Aneh bener tu anak.” Katanya lagi. “ada apa, ram?” smsku padanya. Tak ada balasan. Lama. “ntang, aku duluan ya.” katanya berdiri masih dengan es jeruk di tangannya. Ku pandangi dia. “ada kelas.” Katanya. Aku mengangguk. Ku pandangi hapeku. Sepertinya aku yang bodoh karena belum juga sadar bahwa aku bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar