KONVERSI LAHAN (TAK LAGI) MUNCUL PERLAHAN
Disusun untuk memenuhi tugas Teknik Komunikasi (TKP 050)
Disusun untuk memenuhi tugas Teknik Komunikasi (TKP 050)
Oleh :
TIARA KARTIKA CENDANISARI
21040111060032
Program Studi Diploma III
Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Semarang
2012
Pendahuluan
Pertumbuhan sebuah wilayah sering diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin meningkat pendapatan atau APBD-nya secara tidak langung menyatakan semakin maju pula wilayah tersebut. Adanya hal tersebut mengisyaratkan adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan yang berarti adanya proses kehidupan ekonomi yang besar di suatu kota yang kemudian menarik adanya pertumbuhan penduduknya. Pertambahan penduduk tersebut seringnya adalah para transmigran atau pendatang yang mencari kehidupan baru di kota yang kemudian tak jarang tinggal dan menetap di kota tersebut dan menjadi aktor dari pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan pembangunan wilayah atau kota. Permasalahan selanjutnya adalah semakin meningkatnya pertambahan penduduk di suatu wilayah, memungkinkan adanya pertambahan permintaan terhadap kebutuhan akan lahan baik berbentuk fisik bangunan seperti permukiman, sarana hiburan, sekolah, ataupun yang lainnya. Padahal, penduduk yang tak terbatas tak sebanding dengan ketersediaan lahan yang terbatas yang kemudian memunculkan dampak adanya penyalahgunaan lahan yang biasanya berupa pengalihfungsian lahan produktif berupa persawahan ataupun pengeprasan perbukitan. Hal tersebut akan berdampak semakin buruk ketika permasalahn menjalar ke ranah lain seperti munculnya bencana alam seperti banjir dan longsor serta labilnya ketahanan pangan.
Permasalahan seperti di atas bukanlah hal yang baru, karena hampir di semua wilayah mengalaminya, hanya kadarnya saja yang berbeda. Misalnya saja di Kota Semarang dengan adanya pengeprasan bukit Meteseh dan adanya perencanaan pengalihfungsian hutan Penggaron menjadi Taman Margasatwa ataupun pengalihfungsian sebagian lahan persawahan menjadi perumahan di beberapa wilayah di Kota Semarang. Hal tersebut agaknya akan menjadi hal biasa ketika dibiarkan baik pra ataupun paska pengalihfungsian lahan.
Pembahasan
Ketersediaan lahan yang terbatas tak menghambat adanya pergerakan di atasnya. Namun, permintaan terhadap penggunaan lahan baru sebagai permukiman, perkebunan, hiburan, ataupun penggunaan lahan lainnya tak jarang tak memperhatikan aspek pembangunan yang berkelanjutan sehingga tak hanya lahan kering, lahan basahpun terkena imbasnya yaitu digunakan sebagai lahan untuk pembangunan. Permasalahan pun menjalar kepada ketahanan pangan terkait dialihfungsikannya lahan pertanian menjadi bangunan baru yang akan berimbas pada kehidupan petani dan sistem ekspor impor beras di Indonesia. Hal tersebut agaknya memang tak begitu diperhatikan oleh pemilih lahan pertanian karena lahan yang mereka miliki adalah lahan pribadi dan pemerintah dalam hal ini punya andil besar dalam sebuah perizinan pendirian bangunan.
Bangunan fisik memang lebih mudah dalam hal penanganan dan pengendaliannya karena bersifat fisik. Namun, tak hanya konversi lahan dalam pembangunan fisik, terkait dengan pertambangan dan perkebunan yang tak mendirikan bangunan fisik di atasnya pun tak jarang bersifat pengalihfungsian lahan karena lahan awal yang mereka gunakan adalah lahan produktif ataupun kawasan hutan dan lahan gambut. Sehingga fungsi lahan yang digunakan setelah alih fungsi tak semaksimal keetika belum dialihfungsikan dan kadang malah merusak fungsi awal lahan tersebut.
Pertambangan misalnya, sekalipun masih menggunakan lahan itu sendiri secara langsung, namun pertambangan bersifat pengambilan sumber daya alam yang ada pada lahan tersebut sehingga akan terjadi pengurangan pemanfaatan fungsi lahan itu sendiri. Tak jarang, kasus tentang pertambangan berupa pertambangan ilegal ataupun kegiatan paska tambang yang tak memperbaiki lahan bekas tambang.
Perkebunan dalam hal ini memang memanfaatkan tanah pada lahan tersebut, tapi akan dikatakan penyalahgunaan lahan jika perkebunan tersebut tak bersifat memfungsikan seperti lahan aslinya. Misalnya saja perkebunan teh atau kopi pada puncak gunung, padahal lahan pada gunung tersebut difungsikan sebagai kawasan penyangga ataupun kawasan lindung. Hal tersebut merupakan penyalahgunaan lahan karena tanaman yang di tanam adalah berakar pendek atau tak berakar kuat sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan tanah berupa longsoran yang bisa terjadi kapan saja. Contoh yang lain adalah perkebunan sawit. Dikatakan pengalihfungsian lahan karena perkebunan sawit biasanya menggunakan lahan pertanian sawah sebagai lahan perkebunannya yang selanjutnya mengancam ketahanan pangan karena produksi padi berkurang, serta tak jarang juga menggunakan lahan gambut yang sebenarnya berfungsi dalam pengikatan karbondioksida di udara.
Sedangkan seperti dilansir di poskotanews.com, terkait pengalihfungsian lahan, di Jakarta, Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengaku sangat prihatin dengan terjadinya alih fungsi lahan secara besar-besaran yang dalam setahunnya bisa mencapai 140 ribu hektar. Apalagi dampaknya mulai terlihat dengan penurunan produksi padi sebebsar 1,64 persen pada tahun 2011 dibanding 2010. Angka 140 hektar per tahun itu, kata Mentan, sebenarnya masih sebatas data. Dia yakin masih ada lahan kecil-kecilan yang luput dari perhatian, namun telah dikonversikan. Jika alih fungsi ini terus berjalan maka akan mengancam lahan pertanian di Indonesia. Akhirnya akan berimbas pada ketersediaan pangan nasional yang jumlahnya terus meningkat. Di Pulau Sumatera dan Kalimantan, alih fungsi sering terjadi dari lahan sawah ke lahan sawit. Hal itu tentu saja menjadi ancaman produksi pangan nasional Indonesia.
Contoh kasus terkait permukiman terdapat di Kota Semarang. Karena kesulitan alih fungsi lahan di Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang mengaku kesulitan untuk mengurangi angka backlog atau kekurangan rumah khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Bahkan Pemkot Semarang belum mampu menyediakan rumah susun sewa sekalipun. Hal ini mengingat prosedur alih fungsi lahan yang masih berbelit. Itulah yang penyebab tingginya angka backlog atau defisit ketersediaan rumah di Kota Semarang. Hingga saat ini Pemkot Semarang selalu menggandeng Kementrian Perumahan Rakyat untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah masyarakat berpenghasilan rendah dengan membangun rumah susun sewa.
Seperti diketahui, Kota Semarang saat ini memiliki kekurangan backlog atau kekurangan rumah khususnya untuk masyarakat tidak mampu mencapai 380 ribu unit rumah. Untuk mengurangi backlog, Pemkot Semarang hanya mampu memberikan perijinan pembangunan perumahan kepada pengembang dengan luasan lahan yang terbatas. Solusi yang mudah diterapkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki rumah adalah dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa di Kota Semarang. (kabar17.com).
Adanya penyalahgunaan lahan juga tak terjadi pada lahan produktif ataupun kawasan hutan, tetapi juga pada daerah resapan air dan kawasan hijau di perkotaan, sebut saja di daerah hulu sungai di beberapa wilayah di Kota Semarang yang kini berubah menjadi kawasan permukiman. Hal tersebut juga bertambah parah ketika musim hujan, yaitu datangnya banjir.
Terkait wujud pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap konversi lahan, selain adanya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 20 Mei 2011 lalu sebagai bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Instruksi ini, yang secara umum dikenal sebagai moratorium, merupakan penundaan pemberian izin baru selama 2 tahun untuk hutan alam primer dan lahan gambut dengan beberapa pengecualian. Dalam Inpres tersebut, pengecualian diberikan untuk penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut untuk geotermal, ketenagalistrikan, minyak bumi dan gas, lahan untuk padi dan tebu, serta restorasi ekosistem. Pengecualian juga diberikan bagi permohonan yang telah memperoleh persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.
Menurut saya, salah satu usaha yang bisa dilakukan pemerintah daerah adalah dengan penetapan moratorium penggunaan lahan yang berarti penundaan pemberian izin baru terkaiit penggunaan lahan dalam waktu tertentu. Moratorium ini akan sangat berimbas langsung ketika dicanangkan oleh pemerintah daerah, contohnya Kota Semarang, dengan bantuan DPR, dinas terkait, serta jajaran pemerintahan lainnya baik pemerintahan pusat ataupun pemerintahan desa. Selain itu, pemerintah juga bersinergi dengan para stakeholder atau para pemangku kepentingan. Peran stakeholder di sini sebagai pihak lain yang terkait dengan adanya rencana moratorium dan pelaksanaannya.
1) menunjukkan adanya sinergi pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat di sini berarti masyarakat pada umumnya serta para tokoh masyarakat. Di sini pemerintah memberikan penyuluhan terkait penggunaan lahan dan konversi lahan yang terjadi di Kota Semarang, terutama bagi masyarakat yang mempunyai lahan agar tidak sembarangan menjual lahan atau mempergunakannya tidak sesuai dengan fungsinya. Tokoh masyarakat berperan sebagai penyambung lidah masyarakat dengan pihak lain.
2) menunjukkan adanya sinergi pemerintah dengan pihak swasta. Pihak swasta di sini adalah para pemilik industri atau perusahaan serta forum kelompok industri atau perusahaan yang menaunginya. Sinergi yang dimaksud yaitu pemerintah melakukan perjanjian dengan pihak swasta terkait adanya konversi lahan yang mereka lakukan dan direncanakan, serta hubungan timbal balik di antara mereka, misalnya pada sektor ekonomi dan lingkungan.
3) menunjukkan adanya sinergi pemerintah dengan Perguruan Tinggi. Di sini pemerintah merangkul civitas akademika untuk mendapatkan informasi yang valid dan berimbang.
4) menunjukkan adanya hubungan pemerintah dengan Lembaga Swadaya Masyararakat (LSM). Di sini pemerintah mencari informasi terkait adanya penggunaan dan pengalihfungsian lahan yang ada di Kota Semarang.
Dengan demikian diperlukan sinergi antara pemerintah, swasta, masyarakat, perguruan tinggi, serta LSM agar peraturan yang ada bisa berjalan dengan lancar. Jadi, pembangunan berkelanjutan tetap bisa dilaksanakan dan kerusakan lingkungan bisa dihindari guna keberlangsungan hidup generasi selanjutnya.
Dengan begitu pemerintah bisa melakukan fokus terhadap pengawasan dan pengendalian pembangunan di setiap kawasan di Kota Semarang. Pengendalian pembangunan yang baik yaitu mampu menciptakan kelestarian lingkungan hidup sesuai rencana tata ruang sehingga tidak terjadi penyalahgunaan lahan. Pertama kali yang harus dilakukan dalam hal ini adalah mencari akar permasalahan dari adanya penyalahgunaan lahan di Kota Semarang dan mendata wilayah-wilayah yang rawan terjadi penyalahgunaan lahan serta menganalisis para stakeholder yang terkait di dalamnya. Kedua adalah melakukan pengkajian terhadap faktor terkait, seperti mengkaji data dan informasi yang telah didapat, serta menganalisis keinginan dan harapan dari para stakeholder dengan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) terkait adanya penggunaan dan penyalahgunaan lahan di Semarang. Ketiga adalah menentukan kebijakan moratorium, serta mencari solusi terbaik untuk pembangunan berkelanjutan agar generasi mendatang tidak mendapatkan dampak negatif dari adanya penyalahgunaan lahan yang dilakukan. (Cendanisari, dkk. 2012).
Simpulan
Konversi lahan bukanlah hal yang baru pada suatu wilayah ataupun kota. Terkait hal ini pemerintah sudah melakukan pengendalian dan pengawasan berupa pembentukan undang-undang ataupun peraturan pemerintah, dan sebagainya, misalnya saja dengan diberlakukannya moratorium penggunaan lahan. Dengan begitu pembangunan yang ada bisa bersifat pembangunan berkelanjutan. Dalam upaya pengendalian dan pengawasan, pemerintah sudah seyogyanya merangkul stakeholder dan pihal lainnya dalam hal ini agar konversi lahan yang terjadi bisa berkurang dan terdapat tindakan pencegahan dan perbaikan demi generasi selanjutnya.
Sebagai mahasiswa dan agen perubahan, kita bisa melakukan beberapa hal untuk membantu pemerintah dalam pengawasan dan pengendalian adanya konversi lahan. Misalnya saja dengan beropini secara lisan ataupun tertulis sehingga dapat mengajak dan mempengaruhi target kita, misalnya dalam hal ini adalah masyarakat umum. Dengan hal ini kita bisa mengajak serta mereka dalam pengorganisasian penggunaan lahan yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Cendanisari, Tiara Kartika, dkk.2012.“PKM-GT-Undip-Moratorium Penggunaan Lahan Sebagai Upaya Pengendalian Pembangunan dan Mencegah Penyalahgunaan Lahan di Kota Semarang.” Faisal/sir.2012.“Mentan Prihatin 140 Ribu Hektar Lahan Pertanian Alih Fungsi.”, dalam http://www.poskotanews.com/2012/05/28/mentan-prihatin-140-ribu-hektar-lahan-pertanian-alih-fungsitahun/. Diunduh Minggu, 17 Juni 2012.
Ris/bye.2012.“Semarang Kekurangan Rumah 380 Ribu Unit” dalam http://kabar17.com/2012/03/semarang-kekurangan-rumah-380-unit/. Diunduh Minggu, 17 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar