“ Jangan lupakan hari ini.
5-5-5”
Ada tulisan Dana di atas tulisanku. Lumayan tak jelas memang. Tapi aku masih bisa mengenalinya. Pohon ini memang pohon ajaib, mengikuti pertambahan tinggiku. Lima tahun yang lalu, dia sama tingginya denganku. Dan sekarang masih sama tingginya denganku, tapi sepertinya aku lebih pendek 10 cm darinya.
“Dan, Dana, sini deh.” ajakku dari luar kelas. “Apa?” tanyanya sambil berlari ke arahku. “Ayo ikut aku.” ajakku lagi. tanpa menjawab dia langsung berlari mengikutiku yang tak sabar untuk menunjukkan sesuatu padanya. “Cepet, Dan. Sini, sini.” kataku ketika sudah berada di samping pohon setinggi kami. “Ada apa disini? Jangan bilang kalo’ kita cuman mau bakar sampah lagi.” katanya sambil mengelap keringat di dahinya. Aku menggeleng. “Bukan Dan, ini pohon ajaib, dia akan terus mengikuti pertumbuhan kita. Nhah,
kamu mesti nulis surat untukku, dan aku juga bakalan nglakuin hal yang sama.” ceritaku. “Kenapa tak cerita seperti biasanya saja?” tanyanya terlihat bingung. “Karena surat ini bukan untuk kita yang sekarang, tapi untuk kita yang akan datang.” jawabku. Dana hanya mengangguk-angguk dan terlihat berpikir. “Nanti kamu simpan surat kamu disini, dan aku simpan disini.” katanya sambil memberi tanda pada pohon itu. Aku hanya mengangguk-angguk dan ikut menuliskan sesuatu di pohon itu. “Lima tahun lagi kita mesti datang lagi kesini untuk membuka surat.” kataku sambil mempertebal tulisanku. “Kenapa mesti lima tahun?” tanyanya bingung. Aku menunjukkan padanya apa yang sedang ku tulis, dan dia hanya meng’oh’ panjang. “Hei, jam berapa sekarang?” tanyaku padanya. “Setengah delapan” jawabnya tenang. “Hwa!! Kita sudah terlambat!!” teriakku, dan langsung berlari tanpa mempedulikan Dana. “Ayo, Dan cepet.” ajakku padanya ketika kulihat dia menulis sesuatu di pohon itu. “Iya!!” jawabnya sambil melempar batu ke tempat sampah. “Apa yang kau tulis?” tanyaku penasaran. “Bukan apa-apa. Dari mana kau dapat pohon itu?” tanyanya. “Kok tahu kalo’ aku yang nanam pohon itu?” tanyaku balik. “Nggak ada orang seaneh kamu yang nanam pohon di tengah tempat sampah. Tanahnya masih baru lagi. Tapi, bener pohon itu pohon ajaib?” tanyanya bingung. “Bener deh, itu yang ngasih omku. Katanya pohon itu bakalan terus ngikuti tinggi kita.” jawabku setengah berbisik ketika kulihat Bu Ina sudah berdiri di depan kelas.
kamu mesti nulis surat untukku, dan aku juga bakalan nglakuin hal yang sama.” ceritaku. “Kenapa tak cerita seperti biasanya saja?” tanyanya terlihat bingung. “Karena surat ini bukan untuk kita yang sekarang, tapi untuk kita yang akan datang.” jawabku. Dana hanya mengangguk-angguk dan terlihat berpikir. “Nanti kamu simpan surat kamu disini, dan aku simpan disini.” katanya sambil memberi tanda pada pohon itu. Aku hanya mengangguk-angguk dan ikut menuliskan sesuatu di pohon itu. “Lima tahun lagi kita mesti datang lagi kesini untuk membuka surat.” kataku sambil mempertebal tulisanku. “Kenapa mesti lima tahun?” tanyanya bingung. Aku menunjukkan padanya apa yang sedang ku tulis, dan dia hanya meng’oh’ panjang. “Hei, jam berapa sekarang?” tanyaku padanya. “Setengah delapan” jawabnya tenang. “Hwa!! Kita sudah terlambat!!” teriakku, dan langsung berlari tanpa mempedulikan Dana. “Ayo, Dan cepet.” ajakku padanya ketika kulihat dia menulis sesuatu di pohon itu. “Iya!!” jawabnya sambil melempar batu ke tempat sampah. “Apa yang kau tulis?” tanyaku penasaran. “Bukan apa-apa. Dari mana kau dapat pohon itu?” tanyanya. “Kok tahu kalo’ aku yang nanam pohon itu?” tanyaku balik. “Nggak ada orang seaneh kamu yang nanam pohon di tengah tempat sampah. Tanahnya masih baru lagi. Tapi, bener pohon itu pohon ajaib?” tanyanya bingung. “Bener deh, itu yang ngasih omku. Katanya pohon itu bakalan terus ngikuti tinggi kita.” jawabku setengah berbisik ketika kulihat Bu Ina sudah berdiri di depan kelas.
Apa kabar Dana sekarang? Aku tak pernah secara langsung bertemu dengannya sejak lulus SD. Dua tahun lalu aku memang bertemu dengannya, tapi dari kejauhan. Dan saat itu dia tengah kaget karena melihatku yang sekarang memakai jilbab, tak seperti aku yang dulu, yang model pakaiannya tak lebih rapi dari dia. Dan satu tahun yang lalu, ketika bertemupun aku malah canggung untuk sekedar menyapanya, sepertinya diapun juga sama. Entah aku tak tahu apakah dia masih ingat dengan janji ‘kecil’ ini atau tidak. Ku perhatikan lagi pohon ini. Eh, ada tulisan apa itu? “Jangan tebang pohon ini ya” Tulisannya terlihat masih baru dan sepertinya aku kenal dengan tulisan itu, seperti tulisan Dana. Tapi, mungkin juga tulisan anak iseng yang dulu sering ditakut-takuti Dana kalau pohon ini banyak penunggunya. Hihihi, Dana memang sama anehnya denganku.
Aku baru sadar kalau ternyata sudah sore. Ku lihat jam tanganku, sudah jam lima lebih tiga menit. Apa aku pulang saja ya? Atau membuka sendiri surat dari Dana? Aku pun berjongkok di sisi pohon yang bertuliskan nama Dana disana. Apa aku buka sendiri saja ya? Mungkin saja Dana tak ingat hari ini. Ku sentuh tanahnya, dan sedikit ragu. “Billa curang.” kata seseorang dari arah seberangku. Sepertinya aku terlalu berkutat dengan pohon ini, dan tak tahu kalau ada orang yang datang. “Dana?!” antara kaget, senang, dan sebagainya bercampur jadi satu. Entah aku tak tahu apa yang harus kulakukan. “Aku tak telat kan?” tanyanya sambil melihat jam tangannya. “Waah!! Aku telat satu menit, maaf ya seharusnya kita bisa membukanya tepat jam lima lebih lima menit, lima detik.” Katanya sambil berjongkok di hadapanku. Ternyata dia lebih aneh dariku. Aku hanya menggeleng. “Aku kira kamu sudah lupa.” kataku. Dia menggeleng sambil tersenyum. “Ayo kita buka.” ajaknya tak sabar sambil memulai menggali tanah. “Tunggu dulu, Dan!” cegahku. “Nanti dibacanya di rumah saja ya.” kataku. “Kenapa?” tanyanya masih dengan wajah bingungnya yang dulu. “Sudah sore, dari tadi aku belum pulang.” kataku beralasan sambil menunjukkan seragam sekolah yang masih kukenakan, padahal aku juga tahu kalau Dana juga masih mengenakan seragam sekolahnya. Sebenarnya alasanku hanya satu, tak tahu kenapa sekarang aku malu untuk bertatap muka dengan Dana, tak bisa seperti dulu. “Oke. Ayo gali.” ajaknya tak sabar dan mulai menggali tanah.
@ @
“Bill, besok kita ketemu di sini lagi ya, di jam yang sama.” katanya setelah dia mendapatkan surat dariku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berlari meninggalkanku sendiri. Maaf Dan, aku tak bisa menepatinya, gumamku dalam hati.
Dari Billa buat Dana:
Dana maaf, bukannya aku tidak mau ketemu kamu lagi. tapi sepertinya hari itu, tepatnya 5 Mei 2010 aku sudah di Solo, bertemu dengan keluarga asliku (tentunya aku sudah ceritakan kalau aku disini bukan dengan orangtua kandungku?). Ini kuketahui kemarin, tepatnya tanggal 4 Mei 2005. Dan mereka menunggu ulang tahunku yang ke-17 untuk bertemu dengan keluarga asliku. Karena itu, aku membuat ide dan janji ‘aneh’ ini. Terimakasih telah menjadi sahabatku selama ini. Semoga suatu saat kita bisa bertemu dan tak perlu lagi ada ide dan janji ‘aneh’ seperti ini.
Apa yang sedang Dana lakukan sekarang? Semoga dia sudah membaca suratku, dan tak menungguku. “Jangan mengejarnya, jangan mencarinya…” Terdengar lagu Untuk Perempuannya SO7. Ada sms. Nomor siapa ini? Kubuka smsnya. “Billa aneh!!” Siapa tho ini?? Ada tulisan lagi. –Akmal Pradana-- Dana?! “Kamu yang aneh, nulis surat koq seperti itu!!” balasku sambil teringat suratnya. Tak berapa lama, dia membalas. “Ya sudah, kita sama-sama aneh. Lima tahun lagi kita ketemu ya. Tepatnya tanggal 5 Mei 2015.” tulisnya. Aku tertawa begitu melihatnya. Mungkin disana dia juga sedang tertawa bersamaku. “Di bawah pohon ajaib ya. Kita memang sama anehnya, Dan.” balasku. Tak lama dana membalas lagi. “ Jangan lupakan hari itu, 5-5-5.”
Dari Dana buat Billa:
Aku bingung mau nulis apa untuk kamu lima tahun lagi, jadi aku tulisnya nanti saja ya kalo’ sudah lima tahun lagi. tapi yang penting, aku bakalan terus jadi temen kamu bagaimanapun aku dan kamu nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar