“Would you be my girl?” tanya Seno tiba-tiba. Aku hanya diam. Menatapnya tajam. Ku lanjutkan prosesi membacaku. “Lucu kamu, Sen.” kataku. Seno bingung. “Ada yang salah?” tanyanya. Aku menggeleng. “Lalu apa jawabanmu?” tanyanya lagi. “What my world and your would will be change if I’m with you?” tanyaku menghentikan prosesi membacaku. “I can’t promise. But, let’s we try.” katanya. Aku melanjutkan prosesiku. “Then?” tanyanya. “Let’s we continue.” kataku sembari mengembalikan buku ke rak. “Kau menerimaku, Rean?” tanyanya mengikutiku. Aku memicingkan mata, kemudian mengambil tas. “Kau lucu, Sen. Tadi kau sendiri yang bilang kalau kita mencoba. Jadi, jalani saja.” kataku sembari keluar perpustakaan. “Tapi Rean, berarti ka....”. “Seno.” Panggil seseorang yang membuat Seno tak melanjutkan kalimatnya. Riza. Aku langsung pergi begitu dia mendekati Seno. Tak ku lihat apa yang terjadi selanjutnya. Bisa dipastikan Riza mengajak Seno untuk pulang bersama. Lebih tepatnya membonceng sepeda Seno.
“Lha wong kok yo koyo ngono ta.” Terdengar suara Mbak Diana dari dalam rumah. “Ada apa ta, Mbak?”
tanyaku. “Itu lho Rean, si Nurdin. Nggak ada malunya. Udah di protes dari Sabang sampai Merauke juga nggak mau turun.” ceritanya. “Masalah utamanya apa ta, Mbak? Aku dengar dari sana-sini cuman cercaan-cercaan saja. Nggak ada latar belakang masalahnya.” kataku sembari ikut melihat TV yang ternyata sudah berganti dengan tayangan iklan susu anak-anak. “Itu lho, Rean. Si Nurdin itu nggak mau turun dari jabatannya. Padahal udah jelas-jelas ada larangan buat orang yang cacat hukum kalau nggak boleh jabat ketua PSSI. Eh, dianya malah tetep keukeuh aja. Kau tahu kan, Rean. Dia itu udah tiga kali kena kasus. Orang kayak gitu kok ya tetep dipertahankan. Mau jadi apa negeri kita ini. Udah gitu dia bilang kalau ada satu partai yang bikin Timnas kita bisa seperti sekarang ini. Aduh Gusti, jaan edan kabeh.” cerita Mbak Diana panjang lebar. Aku hanya mengangguk-angguk. Yah, setidaknya sekarang aku mendengar sendiri dari orang yang lebih tahu.
Rasanya ada yang kurang hari ini. Ku lirik ha-pe’ku “Lagi baca apa, Rean?” tanya Mbak Ra sambil duduk di sebelahku. Ku tunjukkan sampul bukuku. “Besok ujian ya?” tanyanya. Aku menggeleng. Mbak Ra diam. Sepertinya aku merasa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Sepertinya aku tahu. “Seno sudah bicara denganmukah?” tanyanya. “Sudah.” jawabku singkat. “Lalu?” tanyanya lagi. “Jalani saja yang udah ada, Mbak.” kataku sambil tetap membaca. “Kau menolaknya?” tanya Mbak Ra sambil mengambil bukuku. “Belum tahu.” kataku datar sambil mengambil bukuku dari tangan Mbak Ra. Mbak Ra menatapku tajam. “Aku membebaskannya untuk menyukai siapa saja. Setidaknya selama umurku belum dua puluh tiga, Mbak.” kataku sambil meletakkan buku di meja di sebelah kasur. “Bukan karena Riza, kan?” tanya Mbak Ra untuk kesekian kalinya. “Iih, Mbak Ra ini, kaya guru yang lagi ngasih soal ulangan aja. Nanyaaa terus.” candaku. Mbak Ra hanya diam. “Nggak kok, Mbak.” lanjutku. “Mungkin jadi salah satu faktornya juga.” lanjutku lagi. Mbak Ra tersenyum. “Waah, kamu cemburu ya, Rean?” kata Mbak Ra. “Ya nggak ta, Mbak. Riza itu kan sahabatnya Seno. Mereka juga udah temenan sejak SMA.” kataku mencoba datar. Mbak Ra hanya meng-oh panjang. “Lalu, maksudmu apa tadi bilang Riza jadi salah satu faktornya?” tanya Mbak Ra lagi. Aku tertawa kecil. “Lihat aja kebiasaan mereka, Mbak.” kataku. “Aku mau tidur dulu ya, Mbak.” kataku lagi sambil menarik selimut sampai kepala. “Rean, maksudnya apa?” tanya Mbak Ra sambil menarik selimutku. Belum sempat kami berkata, Mbak Di tiba-tiba masuk dan menarik selimutku dengan kuat. “Rean, aku hampir lupa. Kapan kau mau pulang?” tanya Mbak Di tanpa basa-basi. Aku diam sejenak. Berpikir. “Nyoblos, Rean. Nyoblos.” kata Mbak Di. “Tadi ibuku telepon. Besok kan nyoblos, jadi kalau bisa ya pulang. Gimana Rean?” tanya Mbak Di tidak sadar ada Mbak Ra di sini. “Tapi besok aku mesti ngumpulin tugas, Mbak.” kataku. “Jam berapa?” tanya Mbak Di lagi. “Jam sembilan.” jawabku singkat. “Ya udah, besok sehabis ngumpulin tugas, kamu langsung pulang ya. Jangan lupa minta diijinin sama temen kamu buat jam berikutnya.” kata Mbak Di panjang lebar. “Oke.” jawabku singkat. “Eh, ada Mbak Ra.” sapa Mbak Di baru ngeh ada Mbak Ra disini. Mbak Ra hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Terdengar suara kereta datang. Orang-orang berhamburan mendekatinya. Pintu kereta terbuka. Orang-orang berhamburan masuk dan keluar kereta, termasuk aku dan Mbak Di. Terlihat kereta sudah penuh dengan desakan orang. Apa mereka juga orang Pekalongan yang akan nyoblos ya? “Rean, sini.” Panggil Mbak Di. Ku cari Mbak Di, tapi tak ada. “Mbak Di.” panggilku. Tiba-tiba ada orang yang menarik tasku dari bawah. “Hei! Mbak Di?” ternyata Mbak Di yang menarik tasku. “Duduk sini aja ya.” kata Mbak Di sambil menggelar koran di lantai kereta. Beginilah jika jumlah penduduk lebih banyak dari jumlah muatan kereta. “Rean, sudah tahu calon bupati kita belum?” tanya Mbak Di sambil membuka koran sisa kami. “Sudah, Mbak.” jawabku. “Tapi aku kenalnya cuman beberapa, Mbak.” kataku lagi. “Nih, visi misi mereka. Seenggaknya kita punya pesangon buat nyoblos salah satu dari mereka.” kata Mbak Di membagi koran yang dibacanya denganku. Namanya juga visi misi, semuanya pasti bagus. Entah itu bisa disebut janji atau hanya kalimat persuasi, tak tahu. Tapi aku harus memilih salah satu dari mereka. “Gimana, Rean?” tanya Mbak Di. Aku hanya tersenyum simpul. “Sedikit aneh ya, Mbak.” kataku. Mbak Di memandangiku. “Kita harus milih salah satu dari mereka buat jadi pemimpin kita. Tapi, siapa mereka saja aku kenal betul. Seperti apa mereka? Kalo aku milih salah satu dari mereka, padahal aku hanya “curi dengar” dari orang lain dan para pendukung calon, aduuh, nggak tahu gimana nasib kabupaten kita itu.” ceritaku panjang lebar. “Iya, Rean. Mau gimana lagi. Kita udah lama nggak di Pekalongan, sekali pulang nggak ngurusin masalah siapa-siapa yang bakal jadi bupati kita. Aku malah terima beres aja mau kayak apa kabupaten kita itu.” kata Mbak Di nyengir.
Langit Pekalongan masih belum berubah. Bintang berkedip di beberapa tempat dan bulan tampak begitu terang walau ditutupi awan gelap. Besok adalah pemilihan bupati, tapi yang ada di pikiranku bukan siapa yang mau kupilih. Selalu seperti ini ketika aku pulang, padahal sudah dua tahun aku kuliah di Semarang, masih saja ingat dengan dia yang di Depok, tapi sekarang ada di Pekalongan juga. Ku tarik napas, ku hembuskan pelan-pelan. Tak lupa ku panjatkan doa pada-Nya. Memang tak sepantasnya aku seperti ini. Dia juga sudah membantuku menjauh darinya dan berkawan baik dengan dia. Dia yang ada disini. Ku lihat ha-pe’ku. Ada SMS yang belum kubaca. Seno. “Sudah ketemu Damar?” tanyanya. “Belum.” Balasku datar. Aku memang sudah cerita tentang dia pada Seno. Karena ku kira aku bisa serius dengannya, jadi tak perlu ada yang disembunyikan. “Kok belum?” tanyanya lagi. Aku tak ingin membayangkan sedang apa dia dan apa yang dia pikirkan sebenarnya. “Mungkin besok juga ketemu.” balasku. “Kalau nggak ketemu?” tanya Seno lagi. “Ya udah.” jawabku singkat. Seno tak membalas lagi. Mungkin dia tahu aku a-g-a-k tidak suka dengan pertanyaan dia yang selalu tahu apa yang sedang ku pikirkan itu. Ku lihat ha-pe’ku. Tak ada Seno lagi. Entah apa yang membuatku bertahan dengannya. Angin malam semakin menusuk kulitku. Burung malampun tak luput dari bisingnya orang yang berlalu lalang untuk menyiapkan pemilu esok hari. Sepertinya memang sudah waktunya untuk tidur. Seno? Tak tahulah. Douzo yoroshiku, Seno san.
Ha-pe’ku berdering dengan kencangnya. Alarm. Ku lihat ada satu sms. Mbak Di. “Yo ayo, pilih nomor 7.” Mbak Di ini memang lucu. Padahal calonnya hanya sampai nomor lima saja. “Ke Semarangnya nanti apa besok, Mbak?” tanyaku. “Aku ngikut aja.” jawab Mbak Di. “Besok pagi aja ya, Mbak. Jam 7.” kataku. “Okke.” jawab Mbak Di singkat. Aku bergegas ke TPS. Ku lihat visi misi calonnya. Tetep ngga begitu ngaruh buatku. Mana yang mesti ku pilih? Baiklah, bismillah, ini saja. Batinku sambil mencoblos gambar itu.
“Kemarin nyoblos yang mana, Rean?” tanya Mbak Di di perjalanan menuju Semarang. “Secret.” jawabku singkat. “Mbak sendiri?” tanyaku. “Aku nggak tahu mesti pilih yang mana, Rean. Jadi aku pilih yang berpendidikan paling tinggi.” kata Mbak Di. “Sudahlah, Mbak. Siapapun yang jadi semoga bisa bikin daerah kita jadi lebih baik.” kataku sambil menepuk-nepuk Mbak Di. Mbak Di hanya mengangguk. Mbak Di sepertinya agak aneh hari ini. Nggak biasanya diam seperti ini. Biasanya dia selalu berargumen tentang segala sesuatu yang terjadi. “Mbak nanti ada kuliah nggak?” tanyaku. “Ada, Rean. Jam sebelas.” jawab Mbak Di sambil memperhatikan jamnya. “Sama, Mbak. Nanti berangkat bareng ya.” kataku. “Siip.” jawabnya.
“Rean, kamu sama Seno tu sebenernya ada apa ta?” tanya Mbak Di ketika berjalan ke kos’an kami. “Nggak ada apa-apa, Mbak.” jawabku mencoba datar. “Dia kan satu jurusan denganku. Tapi lebih deket sama kamu. Jangan-jangan...” kata Mbak Di sambil menyenggolku. Aku hanya tersenyum. “Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Mungkin karena Seno sepupunya Mbak Ra. Terus, Mbak Ra itu temen sekamarku.” kataku ngawur. “Alasan yang aneh.” kata Mbak Di. “Memang.” jawabku sambil tertawa. Tiin tiin. “Awas, Mbak Di.” kataku sambil menarik Mbak Di masuk ke halaman kos kami. “Sepertinya dia mau ke kos kita.” kata Mbak Di. Ku lihat dia. Seno. Kami berhenti berjalan. Aku tak berharap dia mencariku. Kami berhenti di teras kos kami. “Ada apa, Sen?” tanya Mbak Di sambil melepas tasnya. “Ini, Di. Kemarin ada tugas. Besok pagi mesti dikumpulin.” Katanya sambil mencari seduatu dalam tasnya. “Tasnya aku bawain masuk ya, Mbak.” kataku sambil menjinjing tas Mbak Di. Tak ku lirik Seno. “Nggak usah, Rean.” kata Mbak Di. “Terlanjur, Mbak.” kataku sambil membuka pintu kamar Mbak Di.
“Mbak Di. Jadi berangkat bareng kan?” tanyaku. “Iya. Tunggu bentar, Rean. Masih jam sepuluh ta?” kata Mbak Di dalam kamarnya. “Aku masuk ya, Mbak.” kataku sambil membuka pintu kamar Mbak Di. “Apa ini, Mbak?” tanyaku begitu ku lihat sebuah kotak yang bungkus plastiknya telah terbuka di sudut tempat tidurnya. “Buka aja.” kata Mbak Di. To : Reana Sabilla. “Lhoh, Mbak?” tanyaku. “Bentar, Rean.” kata Mbak Di keluar dari kamar. Ku buka kotak itu. Hanya ada surat? Tiga surat? “Itu buat kamu, Rean.” kata Mbak Di sambil mengambil tasnya. “Dari siapa, Mbak?” tanyaku ragu. Mbak Di hanya tersenyum.
“Rean, kamu KKL kapan?” tanya Mbak Di. “InsyaAllah bulan depan, Mbak. Sama ta?” kataku. Mbak Di mengangguk. “Kemana?” tanya Mbak Di. “Jakarta, Mbak. Mbak kemana?” tanyaku. “Surabaya.” jawab Mbak Di. “Fuuh, sebulan nggak bisa ketemu.” kata Mbak Di menghela napas. “Rean, tuh.” kata Mbak Di sambil menyenggolku. Ku lihat Seno sedang berdiri membaca majalah dinding kampus. “Sana.” bisik Mbak Di. “Dia yang ngasih tugas kotak tadi.” lanjutnya. Aku berjalan menghampirinya. “Seno.” Seno menoleh ke sumber suara. “Kemana aja kamu? Aku cariin nggak ada.” kata si pemanggil. “Rean.” panggilnya begitu melihatku memutar arah menjauhi Seno. Seno menoleh ke arahku. “Hai.” Sapanya sambil tersenyum. In a fact, I’m weak in front of you. “Hai.” kataku agak canggung sambil menghampiri mereka. “Mau kemana, Rean?” tanya Riza. “Emm, mau ke..” kataku bingung. “Oh iya, kamu mau pinjam buku yang waktu itu aku pinjam ke perpus kan, Rean? Ayo aku anter.” kata Seno sambil menarik tasku. Aku bingung. “Bentar ya, Riz.” kata Seno masih menarik tasku. Aku tersenyum ke arah Riza. Dia balas dengan senyum. Tapi agak hambar. Ku lihat Mbak Di mengacungkan dua jempol tangannya ke arahku. What’s up? “Hei.” kataku sambil menarik tasku. “Eh, maaf.” kata Seno melepas tasku. “Duduk sini aja, Rean.” kata seno sambil menepuk bangku teras kelasnya. “Sejak kapan perpus pindah ke sini, Seno?” tanyaku. “Sejak sekarang. Setau Riza kita lagi di perpus, Reana.” Katanya agak berbisik. Aku tersenyum. Dia diam. Aku diam. Kami diam. “Kamu udah terima kotak itu?” tanyanya. “Udah.” jawabku singkat sambil memandanginya. “Udah kamu baca?” tanyanya lagi. Aku menggeleng sambil nyengir. “Baguslah.” katanya sambil menepuk tasku. “Isinya apa, Sen?” tanyaku. “Baca aja.” katanya sambil tersenyum. Aku terus memandanginya. Dalam hati berpikir, apa aku bisa bertahan dengan ini dan seperti ini. “Ada apa, Rean?” tanyanya sambil menggoyangkan tangannya di depan mataku. Aku menggeleng sambil tersenyum. Oh, aku tertangkap basah. “Aku haus, Sen. Ke kantin yuk.” ajakku. “Ayuk. Capek juga jalan cepat kayak tadi.” katanya. “Siapa suruh?” tanyaku. “Aku yang suruh. Kalo nggak, nggak bakal ada yang berubah kan, Rean. Masih stak kayak dulu.” kata Seno sambil memandang ke depan. “Iya, Sen. Bakal sulit buat kayak gini.” kataku dalam hati. “Mbak Ra.” panggilku. “Duduk sana yuk, Sen.” kataku. Seno mengekorku. “Sendirian aja, Mbak?” tanyaku. “Iya.” jawab Mbak Ra setelah menyeruput segelas es tehnya. “Ehhem.” Dehem Mbak Ra begitu menyadari ada Seno disini. “Kenapa, Mbak?” tanya Seno. “Nggak papa.” katanya sambil melirikku. “Oh iya, Sen. Nanti pas kamu pulang, aku titip salam buat ibu bapakku ya. Buat adikku juga. Buat ibu bapakmu juga. Buat keluarga disana dan temen-temenku juga.” kata Mbak Di sambil menunjuk ke jari-jarinya. “Nggak sekalian se-Surabaya, Mbak?” tanya Seno. “Kan aku belum bisa pulang, Sen. Masih sibuk buat nyusun skripsi.” kata Mbak Ra. “Masak kamu nggak kasihan sama Mbakmu ini.” kata Mbak Ra memelas. “Iya kan, Rean.” lanjutnya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil terus tersenyum. Lucu juga mbakku yang satu ini. “Siip, Mbak.” kata Seno. “Kamu langsung mudik, Sen?” tanyaku. “Iya. Kan ada libur dua minggu setelah KKL.” jawabnya. Aku hanya meng-oh.
Selesai KKL, aku disibukkan oleh tugas akhir. Pulangpun aku membawa tugas. Sekedar ngobrol santai dengan Mbak Di dan Mbak Ra pun semakin jarang. Mbak Di juga sama denganku. Sedangkan Mbak Ra, masih berkutat dengan bab terakhir skripsinya. Seno? Setelah KKL aku belum bertemu dengannya. Lihat sih pernah. Tapi sepertinya sama sibuknya denganku. Tugas akhir selesai. Aku dan Mbak Di mencari universitas yang menerima transfer dari D3 ke S-1. Akhirnya dapat juga. Serangkaian administrasi dan berkas telah kami selesaikan. Kami diterima. Di sini pun aku dan Mbak Di punya tujuan yang sama. Fokus dan lebih cepat lebih baik. Alhasil keadaan kami sekarang seperti ketika tugas akhir waktu itu. Dan alhamdulillah kami bisa wisuda dengan predikat yang baik. Setelah itu, Mbak Di memutuskan untuk pulang ke Pekalongan dan bekerja disana. Tapi aku ke Solo. Ketika itu aku bilang pada Mbak Di, mungkin tiga sampai lima tahun lagi aku akan pindah ke Pekalongan. Perjuangan bersama Mbak Di pun terhenti untuk sesaat. Tentang Seno? Aku tak mendengar kabarnya setelah KKL beberapa tahun yang lalu.
First
Assalamualaikum wr. wb.
Hai, Reana Sabilla
Salam kenal, namaku Muhammad Seno Rahardi, panggil saja aku Seno. Aku mahasiswa Teknik Sipil di universitas yang sama denganmu
Hai, Rean
Mungkin kau bingung dengan suratku ini.
Kau tahu, satu minggu lagi aku ke Surabaya. Mungkin minggu ini minggu terakhir kita bisa saling menyapa di kampus kita ini. Karena aku pernah dengar dari kakak angkatanku, setelah KKL itu banyak mahasiswa yang egois alias mementingkan diri sendiri (read : sibuk)
Waktu itu bulan Februari aku melihatmu di tempat parkir sepeda. Selama aku berangkat sejak awal kuliah, baru kali ini ku lihat ada perempuan membawa sepeda. Ku lihat kau sedang mendirikan beberapa sepeda yang jatuh. Aku berpikir kau orang bodoh yang tak bisa memarkirkan sepedanya sehingga sepeda yang lain tersenggol dan jatuh. Ku hampiri kau. Ku dirikan sepeda. Kau diam. “Baru kali ini bawa sepeda?” tanyaku. Kau hanya tersenyum. “Makasih ya.” jawabmu lalu pergi. Ku lihat disini hanya ada sepeda pikxi, apa kau membawa salah satu diantaranya. Keesokan harinya aku tak melihatmu. Sampai suatu hari ku lihat kau disana. Sedang mendirikan sepeda. Ku hampiri kau. “Jatuh lagi?” sindirku sambil mendirikan sepeda. Kau hanya tersenyum dan menjawab, “Iya.”. Lalu kau pergi. Sampai lama sekali aku tak mmelihatmu lagi. Suatu hari ku lihat kau dengan Riza. Entah sedang apa. Riza memanggilku, jadi aku mendatanginya. Ku lihat separo penghapus di tangannya. Setelah kau pergi, dia menceritakan bahwa kau yang memberikannya untuk menggambar nanti, karena kau hanya punya satu penghapus. Saat itu aku berpikir, kenapa tak kau berikan semuanya atau kau pinjamkan saja. Kata Riza, karena jam menggambar kalian sama. Hei, makhluk seperti apa kau?
Ketika itu hari terakhir liburan semester, aku mengantar Mbak Ra ke kosnya karena hari sudah malam. Aku membawa tas Mbak Ra masuk ke ruang tamu. Ku lihat kau sedang tidur disana. Mbak Ra memberikan tanda agar aku tak berisik dan membiarkanmu tetap tidur. Kata Mbak Ra, kau selalu seperti itu untuk sekedar menunggu dan menyambut teman kosmu pulang mudik. Tapi kau malah tidur. Tiba-tiba Diana memanggilku dan mencari Mbak Ra yang baru pulang. Kemudian, Diana datang dan duduk di sebelahku lalu membangunkanmu. Kaupun terkejut dan bangun. (Aku tak akan melupakan wajah bodohmu itu, Rean). Mbak Ra pun datang dan kemudian memperkenalkanmu padaku. Karena hanya kau yang tak ku tahu di kos ini.
Hei, makhluk seperti apa kau? Baru beberapa bulan berteman denganmu, kau sudah membuatku berubah dan tak selalu mengikuti apa kata Riza.
Second
Waktu itu aku benar-benar tidak tahu. Bagaimana baiknya aku mengatakannya. Terlebih ketika kau bercerita tentang Damar. Kau menembakku sebelum berperang, Rean. Tapi begitu kau bilang sudah tak lagi, senyumkupun mengembang. Semoga kau tak melihatku tersenyum seperti itu waktu itu. Semester enam awal, ku beranikan diri untuk berkata itu. Entah aku harus berbuat apa ketika kau menjawabnya nanti. Ketika kau menerimaku atau menolakku. Akupun bercerita pada Mbak Ra, dan dia juga tak tahu jawaban pastinya. Setelah kejadian itu, ku lihat kau bersikap dingin padaku. Sungguh, aku merasa bersalah telah mengatakan itu. Sampai suatu hari Diana bertanya sesuatu padaku, tentang kita. Akupun bercerita. Dan tentang aku datang ketika kau pulang itu, dia yang merencanakan. Tentang kotak itu, sebenarnya aku ingin memberikannya sendiri padamu, tapi melihatkkupun kau tidak. Jadi, kutitipkan pada Diana. Semoga esok hari kau tak dingin lagi padaku.
Kau tahu, Rean? Aku ingin kau tetap di sisiku. Ketika kamu membaca surat ini, mungkin aku telah mengganti nomor hapeku. Aku ingin kita bertemu suatu saat nanti dengan usahaku. Kita mulai dari awal lagi. Kau boleh mencari tahu tentangku. Kalau kau bisa. Kau tahu kan kemana harus mencariku? Oh iya, Rean. Kejarlah cita-citamu. Semua yang telah kau ceritakan padaku. Ketika kau mengingatku, carilah kesibukan. Jangan sampai kau berhenti dan jatuh. Aku percaya kau mampu. Bertahanlah disana. Aku akan bertahan disini.
Third
Untuk Perempuan(ku)
Jangan mengejarnya, jangan mencarinya
Dia yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatinya
Di hari yang tepat
Jangan mengejarku, dan jangan mencariku
Aku yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatiku
Di hari yang tepat
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang, dia kan datang
Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam
Bahkan dia tak kan bertahan tanpamu
Sibukkan harimu, jangan pikirkanku
Takdir yang kan menuntunku pulang ke padamu
Di hari yang tepat
Tidaklah mawar hampiri kumbang
Bukanlah cinta bila kau kejar
Tenanglah tenang, aku kan datang
Dan memungutmu ke hatiku yang terdalam
Bahkan aku tak kan bertahan tanpamu
Aku yang kan datang
Aku yang kan datang
Aku yang kan datang (menghampirimu)
– Sheila On 7-
“Undangan dari siapa, Pak?” tanyaku begitu Pak Firman menyerahkan undangan. “Pernikahan anak Pak Walikota.” katanya sambil meneruskan pembagian undangan. Senangnya. Satu lagi impianku terwujud. Benar, sekarang aku bisa kerja sama dengan Bapak Walikota, di kota Solo ini. “Mbak, ini harus mengajak keluarga ya?” tanyaku pada Mbak Ratna, yang duduk dii sebelahku. “Iya.” kata Mbak Ratna singkat sambil meneruskan pekerjaanku. “Aku ikut jadi keluarga Mbak aja ya.” kataku. “Nggak mau.” kata Mbak Ratna nyengir ke arahku. Disini, aku cukup akrab dengan dia. Jarak usia kami tidak terlalu jauh, hanya lima tahun. Jadi dia sudah kuanggap seperti saudaraku di sini. “Tapi besok kalau ku jemput jangan sampai terlambat ya, kasihan Mas Is sama Paundra kalo mesti nunggu kamu.” lanjut Mbak Ratna. “Siip, Mbak.” kataku sambil mengacungkan jempol.
Sampai juga di rumah Pak Walikota. Sudah tampak ramai tamu undangan yang hadir. Suasana Jawa yang sangat kental sudah terasa sejak di area parkir. Terlebih begitu ku lihat tamu undangan yang berpakaian adat Jawa Tengah. Ku gandeng Paundra yang tengah berdendang ria. Anak usia tiga tahun inipun tampak sangat lucu berpakaian seperti itu. Tampaknya acara belum dimulai, akupun menemani Paundra berjalan-jalan. Ada area bermain anak ternyata. “Itu.” kata Paundra sambil menarik bajuku. “Apa, Paundra?” tanyaku sambil mensejajarkan tinggiku dengannya. “Itu.” katanya sambil menunjuk ke arah robot-robotan yang tengah dimainkan oleh seorang anak seusianya. Ku lihat di sekeliling, barangkali ada yang jual. Tapi, jelaslah tidak ada. Ku lihat Paundra. Dimana dia? Ku lihat dia telah sampai di depan anak yang tengah main robot-robotan itu. Ku hampiri dia. Tampak Paundra tengah berjongkok memperhatikan robot-robotan itu. Anak seusianyapun berhenti bermain dan memperhatikan Paundra. “Paundra.” panggilku. “Evan nggak mau main bareng kakak ini?” tanya seseorang yang berdiri di belakangku. “Sini, kak. Main.” ajak anak itu. Paundrapun tampak senang dan menghampirinya. “Makasih, Pak.” kataku sambil berdiri. “Sama-sama Rean.” katanya. “Seno?” I’m shock. Really.
Mbak Ratna melirikku sambil tersenyum misterius. “Makasih, Mbak, Mas.” kataku begitu mereka akan pulang. “Iya, Rean. Sama-sama.” kata Mas Is. “Makasih ya, Sen.” kata Mas Is sambil menggendong Paundra yang sudah sejak tadi tertidur. “Sama-sama, Mas.” kata Seno. Mbak Ratna masih memandangiku aneh, seolah berkata “Siapa dia?”. “Tenang saja, Mbak. InsyaAllah Reana aman sama saya.” kata Seno seolah tahu kekhawatiran Mbak Ratna. Mbak Ratnapun tersenyum, kemudian pamit.
Seno masih saja tertawa. “Kau lucu, Rean. Masak aku udah punya anak usia tiga tahun.” katanya sambil memegangi helmnya. “Kan aku nggak tahu, Sen.” kataku ikut memegangi helm. “Siapa tahu kamu udah punya anak sebesar itu.” kataku ketika Seno belum berhenti tertawa. Diapun diam. Motornya berhenti di rumahku. “Kau meragukanku, Rean?” tanyanya. Aku diam. Masih soal yang tadikah? Apakah dia tersinggung dengan perkataanku tadi. “Bukan begitu, Sen.” kataku tak enak hati. “Kau tak percaya padaku?” tanyanya lagi. “Nggak gitu.” kataku semakin tak enak. “Aku tak peduli dengan itu. Selama kau masih menyukaiku, akupun begitu. Aku percaya padamu. Dan aku tak meragukanmu. Would you be my girl, Reana Sabilla?” tanyanya. I’m shock. Ku serahkan helm padanya. Dia tak menerimanya. “Aku nggak mau denger kau bilang “Belum.” lagi, Rean.” katanya. “Kalau belum, lalu kapan? Kau mau aku menghilang lagi?” lanjutnya sambil menerima halm dariku. Aku diam. “Sen, kenapa kamu bisa diundang Pak Walikota?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dia memandangiku aneh. “Tentu saja. Aku kan tinggal di sebelah rumahnya.” katanya. “Jadi pakdemu yang tinggal di Solo itu rumahnya disana?” tanyaku. Dia mengangguk mantap. “Kenapa kau tak cerita padaku?” tanyaku. “Kalo aku cerita, pasti kamu tak berhenti bercerita dan bertanya tentang Pak Walikota kita itu.” jawabnya, kemudian diam. “Ya sudah, aku pamit dulu ya, Rean.” katanya sambil memakai helm. “Seno.” panggilku. “Let’s we begin.” kataku tersenyum. Seno diam. Melepas helmnya. Tersenyum padaku. Kemudian memakai helmnya lagi. “Thanks, Rean. Trust me.” katanya. Aku mengangguk. “Sana pulang.” kataku. Dia pun menyetarter motonya dan melambaikan tangan ke arahku. Ku hela napas panjang. Ku lihat bintang bertebaran malam ini dengan siluet cahaya bulan sabit di tengahnya. Thanks God.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar