“Lif, Alif. Sini!” teriak Tono dari depan teras rumahnya. Alif dan Santo yang sedang bermain kelereng di seberang rumah Tono langsung berlari menuju ke sumber suara. Karena mereka berpikir kalau Tono memanggil mereka, pasti dia mempunyai sesuatu yang bagus untuk diperlihatkan. “Nih, bagus kan.” kata Tono sambil menurunkan kandang burung kecil yang berisi sepasang parkit ketika melihat Alif dan Santo memasuki teras rumahnya. “Waah bagus bangat, burung apa itu Ton?” tanya Santo takjub. “Ini namanya burung parkit.” kata Tono dengan cadel khas anak kelas 2 SD. “Iya, warna-warni lagi. Kamu beli dimana, Ton?” tanya Alif sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. “Di warungnya Pak Slamet, bukan?” timbrung Santo. Tono menggelengkan kepalanya. “Ini oleh-oleh dari ayahku pas ke Semarang kemarin.” kata Tono sambil memainkan parkitnya itu. “Semarang itu jauh ya?” tanya Alif. Tono hanya mengangguk-angguk dan masih memainkan parkitnya.
Sejak saat itu Santo dan Alif ingin sekali mempunyai parkit yang berwarna-warni seperti milik Tono,
dan merekapun berencana untuk membeli parkit seperti yang Tono punya. Sesampainya di rumah, Alif melihat bapaknya yang sedang bersantai di depan rumahnya. Tanpa membuang waktu Alif bertanya pada bapaknya yang suka memelihara burung itu. “Pak, bapak kalau beli burung dimana, Pak? Jauh nggak?” tanya Alif. “Jauh, Lif. Memangnya kamu mau beli burung apa?” tanya bapaknya penasaran. “Tepatnya dimana, pak?” tanya Alif lagi. “Di Pasar Wage.” jawab bapaknya sambil memberi makan burung-burung kesayangannya itu. Setelah merasa punya jawabannya, Alif langsung berlari ke rumah Santo yang tepat berada di seberang rumahnya. “Mau kemana lagi, Lif?” tanya bapak Alif bingung ketika melihat Alif berlari ke rumah Santo. “Sebentar pak, mau ke rumah Santo.” seru Alif dari kejauhan.
dan merekapun berencana untuk membeli parkit seperti yang Tono punya. Sesampainya di rumah, Alif melihat bapaknya yang sedang bersantai di depan rumahnya. Tanpa membuang waktu Alif bertanya pada bapaknya yang suka memelihara burung itu. “Pak, bapak kalau beli burung dimana, Pak? Jauh nggak?” tanya Alif. “Jauh, Lif. Memangnya kamu mau beli burung apa?” tanya bapaknya penasaran. “Tepatnya dimana, pak?” tanya Alif lagi. “Di Pasar Wage.” jawab bapaknya sambil memberi makan burung-burung kesayangannya itu. Setelah merasa punya jawabannya, Alif langsung berlari ke rumah Santo yang tepat berada di seberang rumahnya. “Mau kemana lagi, Lif?” tanya bapak Alif bingung ketika melihat Alif berlari ke rumah Santo. “Sebentar pak, mau ke rumah Santo.” seru Alif dari kejauhan.
“Santo! Santo!” panggil Alif dari depan rumah Santo. “Ada apa, Lif?” tanya Ibu santo yang ternyata sedang menyapu di samping rumah. “Santonya ada, bu?” tanya Alif tak enak hati karena tadi memanggil terlalu keras. “Tunggu dulu ya, Santonya sedang mandi.” kata ibu Santo sambil mempersilakan Alif duduk. “Ada kabar apa, Lif?” tanya santo masih memakai sarungnya yang biasa digunakan sebagai pengganti handuk. “Aku sudah tahu tempatnya, San.” kata Alif bersemangat. “Dimana, dimana?” tanya Santo tak kalah semangat. “Di Pasar… Pasar… Mmm… Pasar apa ya, San? Wa… Wa… Wa apa ya?” kata Alif mengingat-ingat apa yang dikatakan bapaknya tadi. “Mmm… Pasar Wage bukan?” kata Santo mencoba menebak. “Ya, bener. Kamu tahu tempatnya, San?” tanya Alif berharap. Santo hanya menggeleng. “Aku cuman pernah denger dari Pak Slamet yang katanya biasa belanja disana. Gimana dong, Lif?” kata Santo bingung. “Ya sudahlah, nanti kita tanya saja sama sopir angkotnya. Sekalian naik angkotnya.” kata Alif memberi ide. “Oh iya, bener. Tapi Lif, aku belum punya uang.” kata Santo. “Gimana kalau kesananya minggu depan aja? Kan kita bisa nabung dulu, San.” kata Alif. Santo hanya mengangguk-angguk mantap.
Satu minggu kemudian, dengan berbekal tabungan sisa uang saku mereka yang tak seberapa, dua anak kelas 3 SD ini bergegas menuju pertigaan Kranden untuk menunggu angkot. “Sepeda kita aman kan, Lif?” tanya Santo sanksi. “Insyaallah aman, San. Yang punya warung itu teman bapakku kok.” kata Alif sambil celingak-celinguk mencari angkot yang tak kunjung lewat. “San, tuh angkotnya.” kata Alif sambil melambai-lambaikan tangannya pertanda ingin menaiki angkot tersebut. “Sebentar, San.” kata Alif sambil memasuki angkot itu. “Sampai Pasar Wage berapa, Pak?” tanya Alif sambil duduk di belakang pak sopir. “Dua ribu, Dik.” kata pak sopir setelah berpikir beberapa detik. “Ayo, San.” ajak Alif dengan suara agak keras karena tak mau kalah dengan suara mesin angkot yang masih menderu. Santo pun menaiki angkot itu, dan angkot pun mulai berjalan ketika para penumpangnya dirasa telah rapi. “Bayarnya berapa, Lif?” tanya Santo setengah berbisik. “Dua ribu.” jawab Alif singkat. “Haa? Uang kita kan mepet, Lif.” kata Santo. “Nanti pulangnya gimana, nak?” tanya seorang ibu tengah baya yang sepertinya dari tadi sama sepertiku, yaitu tertarik mendengarkan pembicaraan mereka. “Jalan, bu.” kata Alif tanpa berpikir. Si ibu hanya tersenyum sambil memperbaiki posisi duduk anaknya, sedangkan Santo hanya memandang Alif tajam. “Memangnya ke pasar mau beli apa?” tanya pak sopir ikut nimbrung. “Parkit, Pak.” jawab Santo. “Memangnya tahu tempatnya dimana?” tanya ibu itu lagi. Santo dan Alif menggeleng. Si ibu kemudian melanjutkan obrolannya yang tadi sempat terhenti dengan wanita setengah baya yang duduk di sampingnya.
Satu demi satu penumpang pun mulai turun, kini hanya tinggal Alif, Santo, seorang siswi SMA, dan pak sopir tentunya. “Masih lama nggak, Lif?” tanya Santo jenuh karena merasa dari tadi tak juga sampai. “Masih lama nggak, pak?” tanya Alif. “Sebentar lagi, nak.” kata pak sopir berbohong, karena sebenarnya perjalanannya masih 5 km lagi.
Siswi SMA pun turun, dan kini yang tersisa hanya mereka bertiga dan seorang ibu-ibu yang hendak menghadiri pernikahan, sepertinya. “Masih lama nggak, Pak?” tanya Santo pada pak sopir. Pak sopir menggeleng. “Tuh di depan.” kata pak sopir sambil melambatkan laju angkotnya, menghindari kemacetan tanpa lampu lantas di pertigaan pasar itu. “Ayo Lif, kita turun.” kata Santo sambil menyerahkan dua lembar uang seribuan setelah pak sopir selesai menepi. “Hati-hati, nak.” seru pak sopir ketika melihat mereka berjalan tak tentu arah.
“Lif, dimana tempatnya?” tanya Santo bingung ketika melihat orang-orang pasar yang berlalu lalang. Alif menggeleng. “Aku tak tahu. Ayo kita tanya orang saja.” ajak Alif. Santo pun mengikuti Alif bertanya dari orang satu ke yang lain, yang lainnya lagi, dan yang lain. Kini, sampailah mereka di pojokan luar pasar. “Yang mana, Lif?” tanya Santo begitu melihat banyak penjual burung di tempat yang dimaksud. “Mungkin itu.” kata Alif sambil mennjuk seorang penjual burung yang sedang memegang dua ekor burung berwarna-warni. “Ayo.” ajak Santo sambil berlari menuju ke arah penjual itu. “Ada burung parkit, pak?” tanya Santo sambil celingak-celinguk ke arah kandang yang bertengger pada sepeda penjual itu. “Yaah, sudah habis, dek. Baru saja dibeli sama ibu itu.” kata penjual itu sambil menunjuk ke arah seorang ibu yang melaju dengan motornya.
“Ada nggak, San?” tanya Alif begitu melihat si penjual hendak pergi. Santo hanya menggeleng lemas. “Ayo, kita cari lagi.” kata Alif sambil celingak celinguk mencari penjual yang lain. “Itu bukan, Lif?” tanya Santo sambil menunjuk kandang yang bertuliskan “Ada Burung Parkit Di sini!!”. Merekapun berlari menuju tempat itu. “Mau cari burung parkit ya, dik?” tanya seorang paruh baya begitu melihat mereka di depan kandang burung parkitnya. Alif dan Santo pun mengangguk. “Waah, sudah habis, dik.” kata orang itu sambil melepas kertas bertulis itu. “Yang jual burung parkit dimana lagi ya, Pak?” tanya Alif penuh harap. “Kalau sore begini penjualnya sudah pulang, Dik. Besok pagi aja kesini. InsyaAllah banyak pedagang parkit di sini.” kata bapak itu sambil menepikan kandang parkitnya ke teras rumahnya. “Makasih ya, Pak.” kata Alif sambil mengajak Santo pergi. “Kita pulang nih, Lif?” tanya Santo lemas. Alif hanya mengangguk dan berjalan menuju pangkalan angkot.
“Besok kita mau kesana lagi nggak, Lif? besok juga libur sekolah.” kata santo ketika mereka sedang berjalan di gang menuju rumah mereka. “Tapi uangku masih sedikit. Kamu juga kan?” tanya Alif sambil mengingat kecerobohan mereka tadi sehingga mereka salah naik angkot. Santo hanya mengangguk lemas. Diin, diin! Mereka langsung menyingkir begitu mendengar suara klakson motor dari belakang mereka. “Dari mana, Lif?” tanya si pengendara yang ternyata Bapak Alif sambil berhenti dekat mereka. “Main, Pak.” kata Alif menjawab sekenanya. “Ayo, naik. Bapak boncengin kalian.” Ajak bapak Alif sambil menepuk-nepuk jok motornya.
“Bapak bawa apa, Pak?” tanya Alif begitu melihat ada dua kantong kertas yang berlubang di atas meja ruang tamu mereka. “Astaghfirullah. Oh ya, Lif, tolong kasih ini sama Bapaknya Santo ya. Ini pesenannya.” kata Bapak Alif sambil menyerahkan salah satu bungkusan itu pada Alif. “Iya, Pak.” jawab Alif sambil menuju rumah Santo. “Nanti langsung pulang, Lif. Jangan main dulu. Sudah mau maghrib.” seru Bapak Alif sambil berjalan ke depan teras rumahnya. Alif yang sedang menyerahkan bungkusan itu pada Ibu Santo langsung berlari pulang dan bergegas mandi karena adzan maghrib telah berkumandang.
“Itu bungkusan apa tho, Pak? Dari tadi kok nggak di buka.” tanya Alif selesai sholat maghrib dan melihat bungkusan tadi masih tergelletak di meja ruang tamu. “Astaghfirullah!” Bapak Alif langsung berlari dari depan dan membawa sebuah kandang kecil. “Nih, Lif.” kata Bapak Alif sambil membuka bungkusan itu dan menaruh isi bungkusan itu di dalam kandang kecil yang tadi dibawanya. Sepasang burung parkit yang berwarna-warni! “Waah, bagus, Pak.” kata Alif takjub begitu melihat sepasang burung barunya itu. “Ini buat Alif.” kata Bapak Alif sambil mendekatkan kandang burung itu ke arah Alif. “Makasih ya, Pak.” kata Alif sumringah. Bapak Alif mengangguk. “Sana, kasih makan dan minum dulu.” kata Bapak Alif sambil memperhatikan sepasang burung itu yang terlihat kelaparan. “Iya, Pak.” kata Alif bergegas pergi. “Mmm... Pak.” Alif tiba-tiba berhenti. “Boleh nggak Pak, yang satu buat Santo? Kasihan dia.” kata Alif berharap persetujuan dari Bapaknya. “Tenang, Lif. Santo juga sudah punya. Sepasang, seperti punyamu. Kan tadi kamu sendiri yang nganter ke rumahnya.” kata Bapak Alif sambil memasang gantungan untuk kandang burung Alif. “Bener, Pak.” tanya Alif. “Iya. Sana cepat ambil makan dan minum buat parkitmu.” kata Bapak Alif. “Eh, iya, Pak.” kata Alif sambil bergegas. Setelah melaksanakan tugasnya itu, Alif bergegas menuju rumah Santo sambil membawa sepasang parkit barunya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar