Sebelumnya, yuk kita nyanyi dulu.
Jawabku,
Maaf, Bu. Namaku bukan Pertiwi. Tapi aku merasa bersalah kalau Ibu susah hati, terlebih menangis. Sering aku bertanya kenapa Ibu menangis. Tapi tak ada yang menjawabku, Bu. Karena aku bertanya dalam hati. Ibu Pertiwi, apa yang sebenarnya membuat gundah Ibu? Bukankah kita sudah kaya dengan segala kekayaan yang kita miliki? Kaya penduduk. Kaya air. Kaya hutan. Segala jenis batu-batuan ada. Mineral ada. Keindahan alam alhamdulillah berlimpah. Apa yang membuatmu lara, Bu? Apakah kami yang tidak bisa dipercaya untuk menjaga dan mengendalikan anugerah yang diberikan Allah ini? Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud menyalahkan kawan-kawan sebangsa dan setanah airku, karena aku juga andil dalam kehidupan ini. Dari bangun sampai tidurku. Bangun lagi, dan begitu seterusnya. Sampai kemudian aku sadar, karena Dia kau hidupiku dan ku hidupimu. Begitu juga dengan kawan-kawanku.
Mana bisa ku bilang tak ada hubungannya dengan segala yang terjadi di sekitarku. Hanya saja aku yang tak terdefinisi. Ketika ku bangun jam empat pagi dan mengerjakan tugasku, maka aku tidak membuat ribet kawanku dengan menyalin jawabannya setibanya di kampus atau sekolah. Untuk selanjutnya kawan yang lain akan tahu dan mengikuti prosesiku menyalin jawabannya. Ketika hal itu terjadi, bisa saja kawanku tak mau lagi membiarkan proses penyalinan ini dan membiarkan kawanku yang lain lapar mencari jawaban dan anjlok semua nilai karena sifat ketergantungan akan mendapat jawaban gratis ini karena aku yang secara tak sengaja mempromosikan penyalinan jawaban ini.
Ketika aku berangkat kuliah atau sekolah setengah jam sebelum kelas dimulai, maka aku bisa agak tenang ketika ban motorku bocor atau motorku kehabisan bensin dan parahnya mesti naik angkot yang memutar arah. Jika itu terjadi, maka aku bisa memprediksikan aku tidak telat masuk ke kelas dan masih diperbolehkan masuk serta mood pengajar tidak rusak gara-gara aku terlambat datang ke kelasnya dan kawan-kawanku bisa mendapat pengajaran dengan tenang_kecuali yang tidak konsen. ^^v
Ketika aku tersenyum dan menyapa riang orang sekitarku, maka aku merasa dunia lebih indah saat itu. Tak ada kesedihan. Tak nampak tak ketenangan. Saat itu ku tahu, semangat satu orang bisa mempengaruhi orang lain. Jika ku nampakkan kesedihan dan amarahku, maka merekapun akan membayar seperti itu dan terkenalah dampaknya pada orang-orang sekitar yang notabene punya rencana dan kehidupan masing-masing.
Ketika di kampus atau sekolah ada pengemis datang apa yang dilakukan? Ketika memberi berarti mengajarinya pantas untuk diberi dan mempersilakannya datang lagi. Ketika tak memberi berarti mengajarinya untuk berhenti diberi dan mempersilakannya untuk berhenti dan beralih profesi. Jika itu menguntungkan, maka akan semakin banyak pengemis dan bertambah pula jumlah orang miskin yang pendapatannya tertutup oleh segelintir orang kaya yang pendapatannya sekian kali pendapatan rata—rata. Sekalipun mereka (read : pengemis) punya fasilitas yang memadai, apa daya? Saya tak tahu dan tak mau tahu. Poinnya adalah amal yang memang di sunnahkan. Lantas, apakah masih pantas diberi jika itu tak mendidik dan mereka tak pantas untuk disebut pengemis yang terpaksa untuk mengemis?
Ketika pulang sore dan jalanan macet, ku sadari aku menjadi salah satu penyebab kemacetan dan berkurangnya bensin bersubsidi dengan sia-sia. Aku dengan moku_motorku menjalani selama kira – kira 5-15 menit dalam kemacetan tiap harinya (jika macet) dengan motor tetap menyala dan bensin di motor tetap berkurang. Siapa yang salah? Tak ada jika tak ada yang mau salah. Salah semua jika ada yang mau salah.
Ketika sekolah atau kuliah dan atau mendapat beasiswa, ku sadar. Semua itu dari kampus atau sekolah. Dari dinas pendidikan. Dari anggaran pendidikan dari negara. Dari uang rakyat. Bukankah itu berarti uang yang ku pakai tak hanya dari orang tuaku? Aku memakai uang mereka juga. Uang pajak? Maybe. So, yang ada di pundakku tak hanya orang tua dan keluargaku tapi juga mereka yang mempercayaiku untuk mendapatkan ini semua, dan pastinya Dia yang mengizinkan aku melangkah sejauh ini. Bukan, berada di pundak bukan untuk memberatkan. Tapi untuk memijat pundakku yang lelah ini. Agar aku selalu ingat mereka semua dan kembali bersemangat karena hidup selalu up down up down dan bla bla bla.
Ibu Pertiwi,
Ibu tahu semakin banyak orang baik yang muncul ke permukaan? Sekalipun kenyataanya banyak orang atau kejadian tak baik yang tampak. Tapi tenang, Bu. Mayoritas dari mereka adalah cerita lama yang sekarang diangkat untuk diselesaikan. Lantas, siapa yang mengangkatnya? Tentu saja anak-anak Ibu yang sekarang telah menjadi pemberani dan ingin melihat kebahagiaan Ibu. Bukankah mereka anak yang berbakti, Bu? Sungguh Allah Maha Mengasihi dan Menyayangi hamba-hamba-Nya.
Ibu, sekalipun saudara-saudara kami berhijrah ke negeri orang, bukan berarti mereka melupakan kita. Itu adalah cara mereka menyenangkan Ibu. Ibu tahu kan menggembirakan tak harus berdekatan. Mereka mengenalkan kita secara langsung di sana, bu. Dengan cara mereka tentunya. Dengan kecerdasan mereka. Dengan sosial budaya mereka.
Ibu, percayalah kami ada untuk Ibu. Dimana dan siapa pun kami.
Inilah ibu kita yang lain. Ibu kaum perempuan Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Ibu Kartini. Masih ingat lagunya kan? Yuk nyanyi dan resapi dulu.
Kenapa disebut ibu kita? Kita saja tak saling kenal. Ibu kita saja berbeda_kecuali aku atau kamu dengan saudara kandung. Kenapa ibu kita? Karena itu standarnya. Kenapa? Kalau aku bilang, pasti wanita terbaik adalah ibuku. Begitu juga kamu. Nah, untuk standarnya, ibu kita adalah Kartini. Seorang wanita yang memperjuangkan hak kaumnya. Wanita. Termasuk kita pastinya. Apa yang beliau perjuangkan bukanlah kesewenang-wenangan. Kesetaraan gender? Pastilah. Tapi bukan kesetaraan gender yang (sekali lagi) sewenang-wenang. Kartini tidak mau kaumnya hanya dijadikan sebagai orang dapuran. Lebih dari itu, beliau ingin kita (read : kaum perempuan) mengenyam pendidikan yang sepadan dengan yang diterima oleh kaum Adam. Remember it. Education. Bukan berarti kalau kaum pria merokok, kita juga ikut merokok dengan alasan persamaan. Ketika mereka menjadi imam masjid, kita juga menjadi imam atas mereka sekallipun terdapat laki-laki baligh di antara kita (naudzubillah). Bukan begitu. Tahu kan kita, pendidikan adalah akar utama dari segala permasalahan pada ibu pertiwi ini. Itulah konsen beliau. Pendidikan yang minim membuat kita tidak mengetahui sesuatu yang kemudian membuat kita melakukan dengan ketidaktahuan, salah, dan parahnya kita dibodohi oleh orang-orang yang mengaku pintar. So, pendidikan tak hanya di bangku sekolah resmi. Ada pendidikan di keluarga yang mendidik kita untuk saling mengasihi dan menyayangi kepada sesama terutama pada ibu bapak kita. Ada juga pendidikan di lingkungan tempat tinggal kita yang mengajari kita untuk bersahabat dan hidup berdampingan dengan alam. Poin terpenting adalah agama, karena dengan agama kita semakin dekat dengan-Nya yang telah menciptakan kita, ibu bapak kita, dan dunia beserta isinya. Dengan pendidikan yang mapan, kita sebagai kaum perempuan bisa ambil andil besar dalam kemajuan negeri ini dengan pendidikan yang bisa kita hasilkan dengan kecerdasan agama, emosional, akademik/pemikiran. Terlebih karena kitalah yang mengandung calon penerus kita yang akan menjalankan kehidupan agar negeri ini bisa berkelanjutan. Ibu Kartini tak ingin kita terus-terusan terpasung dalam kebodohan dan keasingan dunia pendidikan.
Dengan segala yang beliau perjuangkan, beliau ingin tetap kita tetap berada pada koridor kita. Sebagai perempuan. Anak dari ibu bapak dan mertua kita. Istri dari orang yang kan selalu kita dukung. Ibu dari para calon penerus bangsa. Mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang tinggi sebagai hasil dari persamaan gender dalam dunia pendidikan, bukan berarti mengurangi kodrat kita menjadi seorang perempuan. Kita tetap dan wajib menuruti ucapan dan bimbingan suami_selama tak melanggar syariat agama.
kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa
Jawabku,
Maaf, Bu. Namaku bukan Pertiwi. Tapi aku merasa bersalah kalau Ibu susah hati, terlebih menangis. Sering aku bertanya kenapa Ibu menangis. Tapi tak ada yang menjawabku, Bu. Karena aku bertanya dalam hati. Ibu Pertiwi, apa yang sebenarnya membuat gundah Ibu? Bukankah kita sudah kaya dengan segala kekayaan yang kita miliki? Kaya penduduk. Kaya air. Kaya hutan. Segala jenis batu-batuan ada. Mineral ada. Keindahan alam alhamdulillah berlimpah. Apa yang membuatmu lara, Bu? Apakah kami yang tidak bisa dipercaya untuk menjaga dan mengendalikan anugerah yang diberikan Allah ini? Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud menyalahkan kawan-kawan sebangsa dan setanah airku, karena aku juga andil dalam kehidupan ini. Dari bangun sampai tidurku. Bangun lagi, dan begitu seterusnya. Sampai kemudian aku sadar, karena Dia kau hidupiku dan ku hidupimu. Begitu juga dengan kawan-kawanku.
Mana bisa ku bilang tak ada hubungannya dengan segala yang terjadi di sekitarku. Hanya saja aku yang tak terdefinisi. Ketika ku bangun jam empat pagi dan mengerjakan tugasku, maka aku tidak membuat ribet kawanku dengan menyalin jawabannya setibanya di kampus atau sekolah. Untuk selanjutnya kawan yang lain akan tahu dan mengikuti prosesiku menyalin jawabannya. Ketika hal itu terjadi, bisa saja kawanku tak mau lagi membiarkan proses penyalinan ini dan membiarkan kawanku yang lain lapar mencari jawaban dan anjlok semua nilai karena sifat ketergantungan akan mendapat jawaban gratis ini karena aku yang secara tak sengaja mempromosikan penyalinan jawaban ini.
Ketika aku berangkat kuliah atau sekolah setengah jam sebelum kelas dimulai, maka aku bisa agak tenang ketika ban motorku bocor atau motorku kehabisan bensin dan parahnya mesti naik angkot yang memutar arah. Jika itu terjadi, maka aku bisa memprediksikan aku tidak telat masuk ke kelas dan masih diperbolehkan masuk serta mood pengajar tidak rusak gara-gara aku terlambat datang ke kelasnya dan kawan-kawanku bisa mendapat pengajaran dengan tenang_kecuali yang tidak konsen. ^^v
Ketika aku tersenyum dan menyapa riang orang sekitarku, maka aku merasa dunia lebih indah saat itu. Tak ada kesedihan. Tak nampak tak ketenangan. Saat itu ku tahu, semangat satu orang bisa mempengaruhi orang lain. Jika ku nampakkan kesedihan dan amarahku, maka merekapun akan membayar seperti itu dan terkenalah dampaknya pada orang-orang sekitar yang notabene punya rencana dan kehidupan masing-masing.
Ketika di kampus atau sekolah ada pengemis datang apa yang dilakukan? Ketika memberi berarti mengajarinya pantas untuk diberi dan mempersilakannya datang lagi. Ketika tak memberi berarti mengajarinya untuk berhenti diberi dan mempersilakannya untuk berhenti dan beralih profesi. Jika itu menguntungkan, maka akan semakin banyak pengemis dan bertambah pula jumlah orang miskin yang pendapatannya tertutup oleh segelintir orang kaya yang pendapatannya sekian kali pendapatan rata—rata. Sekalipun mereka (read : pengemis) punya fasilitas yang memadai, apa daya? Saya tak tahu dan tak mau tahu. Poinnya adalah amal yang memang di sunnahkan. Lantas, apakah masih pantas diberi jika itu tak mendidik dan mereka tak pantas untuk disebut pengemis yang terpaksa untuk mengemis?
Ketika pulang sore dan jalanan macet, ku sadari aku menjadi salah satu penyebab kemacetan dan berkurangnya bensin bersubsidi dengan sia-sia. Aku dengan moku_motorku menjalani selama kira – kira 5-15 menit dalam kemacetan tiap harinya (jika macet) dengan motor tetap menyala dan bensin di motor tetap berkurang. Siapa yang salah? Tak ada jika tak ada yang mau salah. Salah semua jika ada yang mau salah.
Ketika sekolah atau kuliah dan atau mendapat beasiswa, ku sadar. Semua itu dari kampus atau sekolah. Dari dinas pendidikan. Dari anggaran pendidikan dari negara. Dari uang rakyat. Bukankah itu berarti uang yang ku pakai tak hanya dari orang tuaku? Aku memakai uang mereka juga. Uang pajak? Maybe. So, yang ada di pundakku tak hanya orang tua dan keluargaku tapi juga mereka yang mempercayaiku untuk mendapatkan ini semua, dan pastinya Dia yang mengizinkan aku melangkah sejauh ini. Bukan, berada di pundak bukan untuk memberatkan. Tapi untuk memijat pundakku yang lelah ini. Agar aku selalu ingat mereka semua dan kembali bersemangat karena hidup selalu up down up down dan bla bla bla.
kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu
ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa
Ibu Pertiwi,
Ibu tahu semakin banyak orang baik yang muncul ke permukaan? Sekalipun kenyataanya banyak orang atau kejadian tak baik yang tampak. Tapi tenang, Bu. Mayoritas dari mereka adalah cerita lama yang sekarang diangkat untuk diselesaikan. Lantas, siapa yang mengangkatnya? Tentu saja anak-anak Ibu yang sekarang telah menjadi pemberani dan ingin melihat kebahagiaan Ibu. Bukankah mereka anak yang berbakti, Bu? Sungguh Allah Maha Mengasihi dan Menyayangi hamba-hamba-Nya.
Ibu, sekalipun saudara-saudara kami berhijrah ke negeri orang, bukan berarti mereka melupakan kita. Itu adalah cara mereka menyenangkan Ibu. Ibu tahu kan menggembirakan tak harus berdekatan. Mereka mengenalkan kita secara langsung di sana, bu. Dengan cara mereka tentunya. Dengan kecerdasan mereka. Dengan sosial budaya mereka.
Ibu, percayalah kami ada untuk Ibu. Dimana dan siapa pun kami.
Inilah ibu kita yang lain. Ibu kaum perempuan Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Ibu Kartini. Masih ingat lagunya kan? Yuk nyanyi dan resapi dulu.
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia
Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Kenapa disebut ibu kita? Kita saja tak saling kenal. Ibu kita saja berbeda_kecuali aku atau kamu dengan saudara kandung. Kenapa ibu kita? Karena itu standarnya. Kenapa? Kalau aku bilang, pasti wanita terbaik adalah ibuku. Begitu juga kamu. Nah, untuk standarnya, ibu kita adalah Kartini. Seorang wanita yang memperjuangkan hak kaumnya. Wanita. Termasuk kita pastinya. Apa yang beliau perjuangkan bukanlah kesewenang-wenangan. Kesetaraan gender? Pastilah. Tapi bukan kesetaraan gender yang (sekali lagi) sewenang-wenang. Kartini tidak mau kaumnya hanya dijadikan sebagai orang dapuran. Lebih dari itu, beliau ingin kita (read : kaum perempuan) mengenyam pendidikan yang sepadan dengan yang diterima oleh kaum Adam. Remember it. Education. Bukan berarti kalau kaum pria merokok, kita juga ikut merokok dengan alasan persamaan. Ketika mereka menjadi imam masjid, kita juga menjadi imam atas mereka sekallipun terdapat laki-laki baligh di antara kita (naudzubillah). Bukan begitu. Tahu kan kita, pendidikan adalah akar utama dari segala permasalahan pada ibu pertiwi ini. Itulah konsen beliau. Pendidikan yang minim membuat kita tidak mengetahui sesuatu yang kemudian membuat kita melakukan dengan ketidaktahuan, salah, dan parahnya kita dibodohi oleh orang-orang yang mengaku pintar. So, pendidikan tak hanya di bangku sekolah resmi. Ada pendidikan di keluarga yang mendidik kita untuk saling mengasihi dan menyayangi kepada sesama terutama pada ibu bapak kita. Ada juga pendidikan di lingkungan tempat tinggal kita yang mengajari kita untuk bersahabat dan hidup berdampingan dengan alam. Poin terpenting adalah agama, karena dengan agama kita semakin dekat dengan-Nya yang telah menciptakan kita, ibu bapak kita, dan dunia beserta isinya. Dengan pendidikan yang mapan, kita sebagai kaum perempuan bisa ambil andil besar dalam kemajuan negeri ini dengan pendidikan yang bisa kita hasilkan dengan kecerdasan agama, emosional, akademik/pemikiran. Terlebih karena kitalah yang mengandung calon penerus kita yang akan menjalankan kehidupan agar negeri ini bisa berkelanjutan. Ibu Kartini tak ingin kita terus-terusan terpasung dalam kebodohan dan keasingan dunia pendidikan.
Dengan segala yang beliau perjuangkan, beliau ingin tetap kita tetap berada pada koridor kita. Sebagai perempuan. Anak dari ibu bapak dan mertua kita. Istri dari orang yang kan selalu kita dukung. Ibu dari para calon penerus bangsa. Mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang tinggi sebagai hasil dari persamaan gender dalam dunia pendidikan, bukan berarti mengurangi kodrat kita menjadi seorang perempuan. Kita tetap dan wajib menuruti ucapan dan bimbingan suami_selama tak melanggar syariat agama.
Aku, perempuan, dan IBU
Selalu ada cerita
Cita
Cinta
Pada keluarga
Sesama
Agama
Bagaimana selayaknya perempuan hidup
Adalah tatkala agama selalu dibawa dan ibu bapak meridhoi kita
Aku, perempuan, dan IBU
Aku tak ragu
Perempuan tak bisa dilawan
Dan ibu yang selalu mengacu
Aku, perempuan, dan IBU
Dimana ada kamu
Pasti ada minimal salah satu dari kami
Poinnya, tetap terkait dengan Allah Ta’ala yang telah mmenciptakan
Aku, perempuan, dan IBU
Sbi.17312.21:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar