" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Jumat, 04 Mei 2012

bersamamu

Tak hentinya ku bersyukur pada-Nya, Shi. Dengan atau tanpa kau tepat di sisiku. Aku masih ingat saat itu. Juni 2018.
“Tsuuki...” panggilmu lirih begitu melihatku terbaring lemah di rumah sakit. Tak lama kemudian dokter datang dan mengajakmu keluar. Aku hanya bisa menangis, Shi. Untuk bicarapun aku merasa sangat lemas. “Ya sudah, nggak papa. Lain kali jangan main dekat tangga lagi ya.” Katamu mengelus rambutku. Ku lihat Kierra ingin turun dari pangkuanmu. Maaf, Shi. Terakhir ku ingat saat itu, aku sedang melihat hasil karyamu dari tepi tangga. Alasan yang sepele, Shi. Tapi dampak yang besar. Kedua kalinya aku zalim pada kepalaku, Shi.
Setelah kejadian itu, kau menjadi bapak sekaligus ibu untuk Kierra. Kau juga ikut mengasuhku, Shi. Kau makan setelah aku makan. Kau tidur setelah aku tidur­_aku tahu itu karena aku pura-pura tidur saat itu. Kau melakukan segalanya dengan baik, Shi. Bukankah aku wanita paling beruntung saat ini? Aku ingin segera sembuh, Shi, dan menjadi istri dan ibu serta anak dengan lebih baik lagi. Sebulan berlalu dan aku masih
terbaring. Perasaanku tidak enak, Shi. Kau belum pulang dan Kierra sekarang di rumah kakakku sampai kau pulang. Aku masih ingat hari itu, Shi. Seperti biasanya keluarga kakakku bersilaturahmi ke rumah kita. Mereka kaget melihat kondisiku, dan tentu saja kakakku memarahimu yang tak memberitahunya. Dengan tenang kau bilang tak ingin bergantung pada siapapun. Lagipula kau tak ingin menyusahkan orangtua kita. Seperti janji kita dulu, Shi. Kakakku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihatmu yang sepertiku. Kemudian kakak iparku mengutarakan keinginannya untuk membantu kita dengan mengasuh Kierra sampai aku sembuh. Tak ku dengar suaramu, Shi. Sampai mereka pulang, kau hanya menjawab salam mereka dan berterimakasih kepada mereka. Kau memeluk Kierra dan menghampiriku. “Tsuuki, apa yang harus ku lakukan?” tanyamu. Kau dudukkan Kierra di dekatku. Memberinya kesempatan padanya untuk memelukku. Aku hanya bisa menangis, Shi. “Aku hanya ingin kau sembuh dengan usahaku.” katamu menghapus air mataku. Ku lihat Kierra memanggilku dan dirimu. “Apakah aku katakan saja pada orangtua kita?” tanyamu. Kau diam. “Atau ku panggil bintang-bintangmu untuk menyemangatimu?” tanyamu. Tidak, Shi. Denganmulah aku bisa kuat. Cukup denganmu. InsyaAllah aku bisa. Pagi itu kakak iparku datang dan merayumu untuk mengasuh Kierra. Sampai dengan sebuah kesepakatan hanya saat kau bekerja dan itupun kau minta pada atasanmu untuk dipindahkan ke tempat dekat rumah kita untuk sementara waktu.
Ku lihat hari ini kau sangat tampak lelah, Shi. Setelah kau sholat, kau tertidur di sebelahku. Ku lihat Kierra juga sudah tertidur setelah kau jemput dari rumah kakakku tadi. Perasaanku masih tidak enak, Shi. Intuisiku juga berkata demiikian. Shi. Panggilku. Ku dengar sedikit suaraku. Shi. Panggilku lagi. Suaraku semakin terdengar. Shi. Panggilku lagi sambil mencoba menggerakkan tanganku. Berat. Ku lihat dirimu yang sudah terlelap di sisiku. Shi. Kataku sambil menggerakkan tanganku lagi. Kau tak bangun. Shi. Panggilku lagi. Kau masih tak bergerak sedikitpun. Ku coba mengelus rambutmu. Belum bisa sejauh itu. Ku coba lagi. Ku pegang tanganmu. Kau masih terlelap dan tak menyadarinya. Sampai ketika adzan subuh berkumandang kau belum juga terbangun. Tak seperti biasanya kau yang membangunkanku. Perasaanku masih tak enak. Shi. Panggilku sambil mencoba mengelus rambutmu. Bisa. Alhamdulillah. Aku senang. Shi. Panggilku mencoba agak keras. Tetapi tak terdengar sekeras yang ku harapkan. Kau masih terlelap. Shi. Panggilku sambil menepuk halus pipimu agar bangun. Kau hanya terdiam saja. Tak bergerak. Aku mulai takut. Shi. Panggilku agak menangis. Kau masih diam saja. Shi. Kataku menepuk-nepuk pipimu lagi. “Lima menit lagi ya.” katamu sambil menghentikan tepukanku itu. Aku bersyukur dalam hati. Tak seburuk yang ku bayangkan.
Bukankah bulan yang asli adalah dirimu yang selalu mengelilingi bumi tiap waktunya? Sekalipun matahari memudarkan sinarmu di siang hari. Hari ini 19 Juni 2020. Kita sedang di perjalanan dari rumah sakit untuk memeriksa kehamilanku. Kierra masih sibuk menyanyikan lagu yang dia tahu diajarkan di sekolahnya tadi di bangku belakang. “Shi, kau mau tahu sesuatu?” tanyaku. “Apa itu?” tanyamu. “Sebenarnya, sebelum menikah denganmu, aku sudah menyukai seseorang.” kataku. Kau hanya diam tanpa mengubah ekspresimu. Kenapa kau tak tanya sesuatu? Protesku dalam hati. “Sudah bertahun-tahun aku menyukainya.” kataku lagi. Kau tetap diam seperti tadi. “Kau tak ingin tahu siapa dia, Shi?” tanyaku. “Enggak.” katamu sambil menggeleng. Aku hanya diam dan mengelus perutku. “Hehe.” Dia tertawa kecil sambil menutup bibirnya. “Kenapa?” tanyaku. “Kenapa harus tanya kalau aku sudah tahu.” katanya. “Siapa?” selidikku. “Tentu saja aku.” katanya. Aku tertawa malu. Dia ikut tertawa. “Kau ini, Shi.” kataku. “Tapi kan sudah ku balas dengan merawatmu saat kau sakit.” candanya. “Iya, Shi. Pas kamu nangis juga.” Kataku sambil tertawa kecil. “Eh.” Dia segera mengubah ekspresinya. Dia baru ingat saat itu dia menangisiku. Sampai kapanpun, berpuluh-puluh tahun lagi aku ikhlas mencintaimu, Shi. Sekalipun kau tak tahu seberapa lama dan bagaimana aku menjalani ini sebelum kau bersamaku. Yang ku tahu akulah wanita paling beruntung yang bisa lebih kuat dan bisa menjalani segalanya bersamamu.
Sbi.3312.19:40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar