Samar-samar ku dengar suara bising di rumah sakit. 6 Juli 2015. Ku buka mataku perlahan, namun berat. Hari pertama di rumah sakit. Samar pula ku lihat Yanu duduk di samping tempat tidurku. “Mas.” panggil seseorang. “Ya, Pak.” Jawabnya sembari berdiri menuju ke arah orang berbaju putih itu. “Bagaimana, Dok?” tanyanya. “Apa yang terjadi sebelum dia pingsan?” tanya dokter padanya. Dia melihatku dan menarik panjang nafasnya.
Expo Kabupaten Pekalongan kali ini tak ku hirup udaranya. 6 Juli 2012. Terang saja, tanggal 9 sampai 18 Juli ini masih ada ujian akhir semester. Tak bisalah aku ikut stan organisasi mahasiswa di sana. Aku di rumah, seperti biasa menjelang UAS aku ambil sediki waktu untuk pulang. Sekalipun ada dua minggu sebagai minggu tenang, namun setenang-tenangnya minggu tenang adalah tiga hari sebelum ujian and that’s true. Di rumah seperti ini selalu mengingatkanku padanya. Entah apa yang tengah dia lakukan di Barat sana.
29 Juli katanya mau pulang dan 11 Juli nanti tanggal lahirnya. So? Emm..emm.. aku geleng-geleng kepala saja deh. Di perjalanan pulang ke Pekalongan semalam, aku rasa sakit kepala dan sesak napasku semakin terasa. Entah karena terlalu lelah atau apa. Semoga memang itu alasannya. Semalam aku juga sms pada kedelapan sahabatku tentang persahabatan dan pernikahan dan Yanu hanya tertawa dan sedikit komen untuk membalasnya dan tak ku balas lagi. Tentang pernikahan, entah apa yang akan kulalukan ketika kenyataannya kau tak denganku, Akmal. InsyaAllah aku ikhlas, karena Allah telah tetapkan itu sejak empat bulanku.
Yanu mendekatiku setelah Pak Yon, dokter itu, pergi setelah mengganti infus dan memeriksaku. Hari kedua di rumah sakit. “Kau tak nyata sakit kan, Ra? Bisa kan kau lihat dan dengar aku?” tanyanya setelah duduk di sebelahku. Ya. Jawabku dalam hati. “Katamu kau percaya intuisimu, Ra. Kenapa kau nyerah gitu aja. Bisa kan kau tak mendatangiku dan tak membuatku jadi orang pertama yang mengantarmu ke sini. Kau tahu kan, sebentar lagi aku skripsi.” katanya. Tapi ini bagian dari intuisiku, Yan. Aku yakin kamu bisa handle ini. “Hehe. Tenang saja, Ra. Mendekati liburan seperti ini, aku bakal di sini. Tapi janji, kau harus menghibur biar liburanku nggak tegang. Oke? Dan aku bakal menuhin janjiku nggak bilang sama keluargamu kau ada di sini. Kecuali, kalau lebih dari seminggu kau nggak ada perubahan.” katanya sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum. Entah dia lihat atau tidak.
“Kapan pulang?” tanyaku pada Akmal. Tak juga dibalasnya. 6 Juli 2013. Lebih dari tiga bulan ini kami tak saling tukar kabar. Ya, liburan semester lalu kami bertemu dan dia masih saja tak bilang tentang perasaannya padaku. Apakah ya atau tidak dan tak pula ku katakan lagi tentang aku yang selalu rindukan dia. Dan liburan tahun lalu, kami bertemu, tak hanya berdua tapi juga dengan Yanu dan tentunya tak membahas tentang kami. Hanya bernostalgia dan bercerita tentang kawan lama. Hari ini aku masih sibuk dengan tugas besar terakhirku. Alhamdulillah kelompokku bisa diatur dan saling mengatur jadi semua bisa dikerjakan sesuai porsi masing-masing dan minggu depan, liburan, and I’ll go home. “Yan, kapan pulang?” tanyaku lewat sms. “Lusa.” jawabnya singkat. Kumandang adzan maghrib terdengar jelas di telingaku, pantas saja karena mushala tepat di sebelahku. Kami beranjak dan sholat berjamaah. Saat dzikir, pikiran itu datang lagi. Ketika usia 22 tahunku aku akan sakit dan tak ku beritahu hal itu pada siapapun. Ku buka mata secepatnya dan ku lihat aku terbaring di sana bersama seseorang, dan itu.... aku beristighfar dan bayangan itu hilang.
“Eh, Ra. Ada sms. Ku buka ya.” katanya. “Dari mas Era.” katanya lagi. Dia diam sejenak. Hari ketiga di rumah sakit. “Dia menyuruhmu sms ke semua anggota mahasiswa buat kumpul minggu depan, Ra. Ada acara rapat besar. Aku yang sms’in ya.” katanya. Ku lihat dia sibuk mencari nama-nama di kontak HP-ku. “Liburan seperti ini pasti semua sudah di Pekalongan. Bertemu dengan semua orang. Lebih lagi mau ada acara besar. Pasti dibela-belain deh buat kumpul minggu depan. Apa kabar ya, mereka? Terutama Akmal..” katanya sambil terus mengetik di HP-ku.
Alhamdulillah aku sudah lulus dan sekarang ku cari kerja atau universitas yang bisa menerimaku. “Hei, nyari apa kamu?” tanya Yanu mengagetkanku. “Bukannya jadi di Unnisula?” tanyanya. Aku mengangguk. “Iya. Aku juga pengen nyari referensi lain. Barangkali ada.” jawabku masih sambil googling. “Yan, menurutmu gimana? Yang ini atau yang ini?” tanyaku sambil menunjukkan pilihan universitas dan tempat kerja yang masih berlokasi di Jawa Tengah. “Ini aja.” katanya. “Kenapa?” tanyaku. Dia menerangkan panjang lebar. Aku mengangguk-angguk. “Yan, boleh minta tolong nggak?” pintaku. “Apa?” tanyanya. “Kalau usiaku 22 tahun nanti aku sakit, tolongin aku ya, bawa aku ke rumah sakit dan tolong jangan bilang ke keluargaku. Kecuali dalam seminggu aku tak sembuh juga. Dan saat itu, kau harus berpihak padaku, karena kau juga jadi diriku yang lain.” Terangku. Dia hampir tersedak saat mendengarnya. Kemudian tertawa. “Haha. Apa yang kau bicarain ra.” Katanya. “Aneh-aneh saja kau ini.” Sambungnya. “Serius, Yan.” Kataku. Dia memandangiku. “Serius.” Kataku lagi. “Saat itu, kau boleh bilang apapun yang kau tahu tentang aku, termasuk sama Akmal.” Kataku. Dia hanya mengangguk dan meminum minumannya lagi. “Nih minum.” Katanya sambil memberiku minuman yang lain.
04.00 WIB. Ku dengar Hpku berdering kencang. Yanu. Panggilku. Yanu, bangun. Tolong angkat telpon. Yanu. Kataku berteriak namun tercekat. Aku berdehem namu tak ada suara. Hpku berdering lebih kencang. Hari keempat di rumah sakit. Yanu terkejut dan segera mengambil Hpku. Dia berdehem sebelum berbicara. “Iya, Bu. Saya teman Tira. Iya, Tiranya lagi di jalan mau survei, Bu. Tadi nitipin Hp di saya. Iya, nanti saya sampaikan, Bu. Alhamdulillah baik-baik saja kok, Bu. Hanya belakangan ini agak capek, jadi dianya jarang sms Ibu. Iya, maaf ya, Bu. Wa’alaikummussalam.” jawabnya. Ibuku. “Ibu kamu telpon.” Katanya sambil berjalan ke arahku. Lampu kamar yang belum dinyalakan membuatku tak bisa melihat apa dia tahu aku sudah sadar apa belum. “Eh, ada telpon lagi. Mas Era. Assalamu’alaikum. Iya, Mas. Ini Yanu. Tira lagi nggak enak badan, Mas. Jadi maaf belum bisa kesana. Nggak kok, nggak kenapa-kenapa. Iya, Mas. Aku juga izin ya. Hehe. Kasihan, Mas, dia di sini nggak ada temen kalau aku ke sana. Oke. Amin. Trima kasih, Mas. Nanti aku sampaiin.” Jawabnya. “Eh ada tiga sms. Akmal?” katanya lagi. Tak ku dengar suaranya lagi. Hanya terdengar tombol Hpku. Ada apa, Yan? Tanyaku dalam hati. Lampu menyala. Aku terkejut dan kupejamkan mata. Nyala lampu ternyata sangat terang dan menyilaukan. Yanu duduk di sampingku dan dipegangnya Hpku. “Akmal mau ke sini, Ra. Kau pilh mana? Kau sembuh atau ku ceritain sama dia?” tanyanya. “Aku yakin kau sudah sembuh, Ra.” Katanya lagi.
16.00 WIB. “Iya, Mal. Di ruang Matahari 7.” katanya menjawab telpon. “Kau siap?” tanyanya sambil duduk di sebelahku. Terdengar suara pintu diketuk. “Iya, masuk.” Jawab Yanu. “Lama nggak ketemu, Mal.” katanya sambil menjabat tangan Akmal. Ku rasakan Akmal terus memandangiku. “Emm, aku beliin minum dulu ya, Mal.” Kata Yanu. “Nggak usah, Yan, aku nggak haus kok.” Jawablah. “Nggak papa lah, udah jauh-jauh ke Semarang juga. Sekalian gantiin jaga, aku mau ke toilet juga. Hehe.” Katanya sambil mempersilakan Akmal duduk di sampingku. “Oke.” Jawab Akmal sambil mengangguk. Yanu pergi dari kamarku, namun masih ku rasakan tak juga dia pergi dari depan pintu kamar setelah dia menutupnya. Akmal masih berdiri. Hening. Dia berjalan dan duduk di sebelahku. “Ra.” Panggilnya tenang. Ku dengar derap kaki. Ku rasakan Yanu sudah tak lagi di depan pintu. “Ra, apa kau marah padaku? Bolehkahku meminta maaf? Ra, kau sudah sembuh kan?” tanyanya sambil membenarkan letak selimutku. “Kau mau mendengar critaku tentang suatu hal?” tanyanya. Dia bercerita panjang lebar. Melihat ke arahku dan kemudian menundukkan kepala. “Ketika kau bilang padaku kau menyukaiku, apa kau peduli perasaanku, Ra? Saat kau bilang kita berteman saja seperti sebelumnya, apa kau juga masih tak peduli perasaanku, Ra. Sampai tiap kita bertemu, seolah tak pernah kau tunjukkan kau masih cintaiku atau tidak. Ketika hari ini seperti ini, kapan kau akan sadar dan peduli pada perasaanku.” Dia melihat ke arahku. Dia raih tanganku tapi tak jadi dan lagi-lagi membenarkan selimutku. Dia lihat jamnya dan memandang ke pintu seolah-olah menunggu Yanu yang tak kunjung datang. “Ra, lusa aku ulang tahun. Tak maukah kau memberi hadiah padaku? Lusa juga kan ada rapat di Kajen, Ra, apa kau tak mau datang? Katanya kau bendaharanya kan? Minggu depan juga ada acara di rumahmu, Ra. Pasti keluargamu sudah sibuk sejak sekarang. Kau sudah sembuh kan, Ra. Besok kau pulang kan?” tanyanya bertubi-tubi. Ku lirik dia. Samar ku lihat dia sudah banyak berubah. Badan yang agak besar dan tegap. “Ra, kau tahu? Aku mencintaimu.” Katanya sambil berbisik padaku. Yanu, cepat datanglah kemari. Yanu. Teriakku dalam hati. Kumandang adzan maghrib terdengar sangat jelas. Terang saja karena masjid tepat berada 100 m dari rumah sakit ini. “Permisi, Mas. Saya mau wudhuin Mba’ Tirana.” kata Mba’ Mei, yang biasa membantuku, masuk tanpamengetok pintu. Apa dia kira takada orang di dalam. Biasanya di mengetok pintu ketika Yanu ada di kamar. Yanu? Apa dia di luar sejak tadi. Pantas, biasanya Mba’ Mei datang ketika iqomah, bukannya di awal adzan. “Oke, mba’ saya wudhu dulu.” kata Akmal sambil berjalan keluar. “Hei, Mal.” kata Yanu menepuk bahunya dan tersenyum ke arahku. Perlahan ku buka mata. Alhamdulillah aku bisa. “Alhamdulillah, Mba’ Ra udah sembuh?” tanya Mba’ Mei yang baru selesai membantuku wudhu. Perlahan aku didudukkannya. “Yanu?” tanyaku dengan suara agak serak. “Mas Yanu sholat Mba’, sama Mas yang tadi di sini. Apa nanti mau ku panggilin?” tanya Mba’ Mei. Aku menggeleng perlahan. Setelah dia menidurkan posisiku lagi dan memasang pakaian sholatku, dia pergi. “Cepat sembuh ya, Mba’.” katanya tersenyum sebelum menutup pintu.
“Siap?” tanya Yanu ketika Pak Yon melepas infusku. Hari kelima di rumah sakit. Aku mengangguk. “Jangan langsung beraktivitas yang berat ya, Mba’.” Kata Pak Yon begitu ku hirup napas panjang. “Tenang, Pak, masih ada saya. Kalau ada apa-apa, saya akan langsung hubungi Bapak.” Kata Yanu bersemangat. “Eh, Mas Yanu ini.” Kata Mba’ Mei. Kami tertawa melihat Pak Yon hanya menepuk-nepuk bahu Yanu.
11 Juli 2015. Setelah membantu pikiran tentang acara syukuran di rumahku beberapa hari lagi, aku pergi ke Kajen untuk rapat. Dengan dijemput Yanu, aku langsung pergi ke TKP. Terlihat di sama sudah banyak orang yang datang. Beberapa temanku kaget dan senang melihatku, bendahara yang hilang, begitu mereka menyebutnya. Hehe. Mas Era melambaikan tangan ke arah kami. Menyuruh kami duduk di sebelahnya. “Sudah sembuh kamu, Ra?” tanya Mas Era begitu aku duduk di sebelahnya. “Alhamdulillah, Mas.” Jawabku. “Eh, eh, siapa suruh kamu duduk di sini, Yan?” tanyanya pada Yanu yang duduk di sebelahku. Yanu hanya tertawa dan bersiap berdiri. “Silahkan duduk.” Kata Mas Era mempersilakannya duduk lagi. Kami tertawa. “Kau nggak beli kado, Ra?” tanya Yanu sambil melirik seseorang. Akmal. Aku menggeleng dan tersenyum.
“Mal.” Dia menoleh ke arahku. “May Allah Ta’ala always bless you and your family.” Ucapku padanya. “Makasih ya, Ra.” Katanya. “Sami-sami.” Jawabku. “Yanu mana?” tanyanya. “Tuh, sama Mas Era. Maklumlah dia sie acara buat acara besok dan malah baru nongol sekarang.” Kataku. Ku lihat Akmal memandangku. “Gimana?” tanyaku. “Gimana apanya?” tanyanya balik. “Oh, nggak papa.” Jawabku singkat. “Yan.” Panggilku ketika ku lihat Yanu tersenyum padaku. “Emm, Ra, soal waktu itu...” katanya tapi segera ku potong. “Santai aja, seenggaknya kalimatmu waktu itu jadi salah satu penyemangat buatku sembuh. Jadi, nggak ku ambil hati.” Kataku. “Hei, kalian, sini.” Kata Yanu melambaikan ke arah kami. “Ayo, Mal.” Kataku mengajaknya. "Tadinya kau tak usah bilang padaku kau cintaiku. Sekalipun kau tak bilang itu, aku bisa segera sembuh kok." kataku lagi sambil tersenyum padanya.
"Ra, mumpung dia di sini, beneran nggak ngasih kado?" goda Yanu. "Udah kok." jawabku singkat sambil menyeruput mi baksoku. "Kapan?" tanyanya. "Semalam." Yanu bingung. "Ku kasih lewat blogku." kataku sambil tersenyum. "Udah, makan dulu." kataku menyenggolnya. "Ok." katanya singkat. Lebih dari cukup ketika tiga tahun lalu ku lihat di fotomu ada cincin di jari manismu.
ketika cinta adalah sebuah fitrah
maka mencintaimu adalah sebuah anugrah
perlahan ku sadar ini kuubah jadi musibah
ketika rindu merambah
dan biarkan ubah tunas dari kecambah
ketika makin cintaimu dan inginkanmu lebih dari sekedar hijrah
rindu dan cintaku telah menyalah
aku tahu pasti ku cintaimu
tak ku mainkan perasaan sekarang, ketika itu, atau yang lalu
tak ku salakan kau yang tak ucapkan tentang cintaku
yang ku tahu, ku cintai dan rinduimu
sampai Dia menyuruhku 'tuk menghenti tentangmu
ketika itu, ku tahu
kau, faseku
pkl.6712+smg.8712
Tidak ada komentar:
Posting Komentar