" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Selasa, 25 September 2012

ZONA LAHAN DAN STRUKTUR RUANG KOTA (Pertemuan III)

TUGAS MATA KULIAH 
LOKASI DAN POLA RUANG 
(PENJELASAN PRESENTASI APLIKASI TEORI VON THUNNEN 
PADA LAHAN KOTA KABUPATEN PEKALONGAN) 
Dosen Pengampu : Dra. Bitta Pigawati, M.T. 

ZONA LAHAN DAN STRUKTUR RUANG KOTA 
(Pertemuan III) 

Tiara Kartika Cendanisari 
NIM 21040111060032

PROGRAM STUDI DIPLOMA III 
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA 
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 
SEMARANG 
2012 



Aplikasi Teori Von Thunnen Pada Lahan Kota 
Studi lokasi adalah di Kabupaten Pekalongan, yang sebagian wilayahnya masih berupa lahan produktif dan merupakan wilayah yang sedang berkembang, terlebih karena masih jarangnya pusat-pusat produksi (industri) skala besar. Adapun pusat kegiatan di wilayah ini terpusat di Kecamatan Kajen sebagai pusat pemerintahan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya (pendidikan), serta terdapat adanya terminal sebagai transit akomoda ke Kabupaten Banjarnegara. Selain di Kecamatan tersebut, terdapat pula sub pusat wilayah yaitu di Kecamatan Wiradesa dan Kecamatan Kedungwuni. Kecamatan Wiradesa merupakan Kecamatan yang terletak sepanjang jalan pantura, sehingga sektor ekonomi pada wilayah ini lebih maju daripada di kecamatan lainnya, terdapat pula industri kecil-menengah seperti industri batik serta terdapat pula pusat grosir dan retailnya. Di Kecamatan Kedungwuni termasuk dalam sub pusat wilayah karena merupakan daerah yang sedang dikembangkan karena memiliki industri kecil-menengah berupa industri batik dan merupakan salah satu jalan lokal dengan pergerakan yang intens karena melalui kecamatan ini bisa menuju ke wilayah atau kecamatan di sekitarnya. 
Sesuai dengan teori von thunnen maka bisa diasumsikan relevansinya adalah pada lahan pertanian berpusat pada pasar produksi dan adanya penggunaan lahan pertanian dan peternakan diluar pusat (pasar) yang memiliki banyat pasar, yaitu pada pasar Kajen, Kedungwuni, dan pasar Wiradesa. Sedangkan pada lahan kota, CBD letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Terdapat banyak CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar, yaitu di wilayah Kajen, Kedungwuni, dan Wiradesa. Persamaan yang paling menonjol antara keduanya adalah semakin dekat lokasi dengan pusat kegiatan, harga sewa lahan semakin naik. Baik pusat tersebut berupa pasar ataupun CBD (Central Business District). 

Asumsi Lokasi CBD 
Berikut ditampakkan asumsi nilai lahan dilihat dari adanya titik pertemuan antar garis vertikal, horisontal, dan diagonal yang memotong peta. Hal tersebut dilakukan agar garis asumsi yang terbentuk mempunyai ukuran yang relatif sama. Dari perpotongan garis tersebut, didapat 8 garis dari titik pusat O, yaitu garis OA, OB, OC, OD, OE, OF, OG, dan OH. Perpotongan garis tersebut digambarkan pada grafik asumsi nilai lahan seperti tampak pada gambar di sebelahnya. 



Pada gambar terdapat lokasi yang dilingkari yaitu warna kuning adalah Kecamatan Wiradesa sebagai sub CBD, warna hijau adalah Kecamatan Kedungwuni sebagai sub CBD, dan warna merah adalah Kecamatan Kajen sebagai CBD. Dari gambar di atas dapat diasumsikan persebaran nilai lahannya : 

· OA 
Pada grafik OA tampak melewati 2 sub CBD, yang kemudian mengalami kenaikan nilai lahan ketika melewati warna hijau (Kecamatan Kedungwuni) dan warna kuning (Kecamatan Wiradesa). Hal tersebut dikarenakan pada titik awal O masih berupa wilayah dengan nilai lahan yang stabil yang kemudian mengalami peningkatan nilai lahan pada kedua kecamatan tersebut karena pada Kecamatan Kedungwuni terdapat beberapa aktifitas yang terpusat pada lokasi yang berdekatan seperti pusat pemerintahan kecamatan, pendidikan, GOR (gedung olah raga), peribadatan, perdagangan, serta lapangan pekerjaan dan industri. Sedangkan pada Kecamatan Wiradesa juga terpusat pada lokasi yang berdekatan yaitu adanya pusat pemerintahan kecamatan, pendidikan, industri, retail dan grosir batik, perdagangan, serta lapangan pekerjaan. 

· OB 
Pada grafik OB tampak stabil karena nilai lahan pada wilayah tersebut diasumsikan relatif sama. 

· OC 
Pada grafik OC tampak seperti pada grafik OB. 

· OD 
Pada grafik OD tampak adanya nilai stabil yang lebih tinggi di awal dan tampak stabil setelahnya. Kestabilan di awal dikarenakan adanya kawasan permukiman, sedangkan pada kestabilan yang lebih rendah dikarenakan kondisi topografi yang lebih tinggi dan adanya kawasan hijau sehingga nilai lahan mengalami penurunan yang relatif stabil. 

· OE 
Pada grafik OE tampak seperti pada grafik OD. 

· OF 
Pada grafik OF tampak nilai lahan sedikit lebih tinggi pada awalnya karena terletak pada wilayah dekat dengan pusat perdagangan Kecamatan Kajen. Selain itu juga terdapat kenaikan nilai lahan menjelang akhir grafik. Hal tersebut dikarenakan adanya lokasi pariwisata. 

· OG 
Pada grafik OG tampak peningkatan di tengah grafik. Hal tersebut dikarenakan adanya Kecamatan Kajen (warna merah) sebagai pusat pemerintahan Kabupaten serta pusat dari kegiatan pendidikan, perdagangan, adanya sub terminal, rumah sakit, dan terdapat pusat spesialisasi pelayanan seperti perbankan. 

· OH 
Pada grafik OH tampak mengalami sedikit kenaikan nilai lahan pada wilayah tertentu. Hal tersebut dikarenakan adanya pabrik gula dan akses jalan alternatif menuju Kabupaten Pemalang di akhir grafik dan adanya rencana pembangunan tol yang secara tidak langsung menaikkan nilai lahan pada wilayah tengah grafik. 

Fenomena Perubahan atau Penyimpangan Asumsi dan Konsekuensi Keruangan yang Terjadi 
Pada kenyataannya sulit ditemukan pada suatu wilayah kota dengan beberapa prasyarat yang ada, yang kemudian terjadi pemikiran bahwa terdapat penyimpangan pada prasyarat tersebut yang bertitik tolak pada realita. Di Kabupaten Pekalongan, konsekuensi keruangan yang dapat muncul dari kemungkinan penyimpangan asumsi yang terjadi adalah sebagai berikut : 

1. Penyimpangan jumlah pusat; 
Di kabupaten Pekalongan tak hanya terdapat satu pusat, tetapi juga terdapat dua sub pusat lain yang kemudian akan dengan sendirinya membentuk pola konsentris masing-masing yang selanjutnya pola tersebut tak lagi bersifat konsentris saat memotong pola di wilayah sekitarnya yang mempunyai pola penggunaan lahan masing-masing. 
2. Penyimpangan jaringan transportasi; 
Tingginya nilai lahan di Kecamatan Wiradesa dikarenakan berada pada jalan pantura yang selanjuttnya terdapat kegiatan yang mendukung aksesibilitas pada wilayah tersebut yang membuat nilai lahan dekat jalan pantura menjadi tinggi. 
3. Penyimpangan aktor jual beli lahan 
Adanya konversi lahan akibat petani yang mendua atau menjual lahannya pada pihak tertentu sehingga terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian (pendirian bangunan), yang selanjutnya terjadi perbedaan nilai lahan sebelum dan setelah petani menjualnya karena ada perbedaan fungsi penggunaan lahannya. 

Referensi 
Yunus, Hadi Sabari. 2008. “Struktur Tata Ruang Kota”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar