TUGAS MATA KULIAH
LOKASI DAN POLA RUANG
(REVIEW LITERATUR TEORI TEMPAT PUSAT)
Dosen Pengampu : Dra. Bitta Pigawati, M.T.
TEORI TEMPAT PUSAT
(Pertemuan IV)
Tiara Kartika Cendanisari
NIM 21040111060032
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
Lokasi pusat merupakan suatu tempat dimana sejumlah produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Christaller berpendapat bahwa sistem lokasi pusat membentuk pola yang teratur. Keteraturan dan hirarki tersebut didasarkan atas prinsip bahwa suatu tempat menyediakan tidak hanya barang dan jasa untuk tingkatannya sendiri tetapi juga semua barang dan jasa bagi tingkatannya yang lain seperti tampak pada gambar berikut. Hubungan tersebut direpresentasikan dalam nilai K (konstanta) yang menunjukkan bahwa setiap pusat mendominasi pusat lain yang ordenya lebih rendah dari wilayah pasarnya.
Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan masalah tentang bagaimana menentukan jumlah, ukuran dan pola penyebaran kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan antara lain :
- Lokasi memiliki permukaan datar yang seragam.
- Lokasi memiliki jumlah penduduk yang merata.
- Lokasi mempunyai kesempatan transportasi dan komunikasi yang merata.
- Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa.
Dalam asumsi yang sama dengan Christaller, Lloyd (Location in space, 1977) melihat bahwa jangkauan/luas pelayanan dari setiap komoditas ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pelayanannya dinamakan threshold. (Tarigan, 2006:79).
· Range, adalah jarak jangkauan antara penduduk dengan tempat aktivitas pasar. Apabila jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka cenderung akan mencari ke pasar lain yang lebih dekat.
· Threshold, adalah jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population distribution).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya model area pelayanan heksagonal sebagai berikut: (Tarigan, 2006:80)
Mula-mula terbentuk area pelayanan berupa lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold. Lingkaran-lingkaran ini tidak tumpang tindih.
Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari pelayanan tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih seperti terlihat pada bagian B. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh dataran yang tidak lagi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian C.
Tiap pelayanan berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k=3, pelayanan orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde II. Pelayanan orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian D.
Hal tersebut berarti sistem lokasi pusat ditentukan secara bertahap sesuai dengan dua prinsip dasar. Pertama, semua hamparan wilayah disuplai barang-barang dari sejumlah pusat tertentu. Kedua, suatu lokasi pusat dengan range tertentu menyediakan barang dan jasa sesuai dengan rangenya dan semua barang dan jasa dari order yang lebih rendah, yang berarti pusat yang berorder tertinggi menyediakan barang-barang dengan nilai threshold tertinggi hingga terendah yaitu meliputi barang yang hanya dihasilkan di pusat tertinggi saja sekaligus barang yang dihasilkan di pusat bawah-bawahnya. Misal pusat tertinggi disebut orde I, pusat di bawahnya disebut orde II, dan dibawahnya lagi disebut orde III. Maka bisa disimpulkan bahwa orde I menyediakan barang yang dihasilkan orde I, II, dan III. Orde II menyediakan barang yang dihasilkan orde II dan III. Sedangkan orde III menyediakan barang yang dihasilkan dirinya sendiri.
Keterbatasan sistem tempat pusat dari Christaller ini meliputi beberapa kendala, yaitu jumlah penduduk, pola aksesibilitas, dan distribusi.
Perubahan penduduk yang besar akan menjadikan pola tidak menentu terhadap pola segi enam yang seyogyanya terjadi. Keterbatasan aksesibilitas transportasi ke suatu wilayah akan menjadi ke-bias-an pola segi enam, terutama bila terdapat keterbatasan fisik wilayah. Dalam kenyataannya, konsumen atau masyarakat tidak selalu rasional dalam memilih barang atau komoditi yang diinginkan.
Daftar Pustaka
Aqus. 2009. “Tinjauan Teori Lokasi”, dalam http://theplanner.wordpress.com/2008/ 02/22/tinjauan-teori-lokasi/. Diunduh 8 Okober 2012.
Rustiadi, Ernan, dkk. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar