“ Aku masih menggenggam hatiku untukmu. Ku harap kaupun begitu. Karena belum saatnya kita bersama. Karena kita masih terlalu dini. Masih belum mengerti makna sebenarnya. Yang bisa kita lalukan sekarang adalah menyerahkan semuanya pada-Nya, pada Sang Pencipta. Karena Dia yang telah menciptakanku, menciptakanmu, dan menciptakan rasa ini. Dan kepada-Nyalah semuanya akan kembali.”
---mangnya maw prgi kmana??---
Balas pesanku untuk Akmal. Tak ku duga Akmal mengajakku pergi. Ingin cerita tentang banyak hal dan mengenang masa lalu katanya. Akmal adalah sahabat semasa kecilku, saat kami SD tepatnya. Dan dia juga orang yang pertama kali bisa membuat hatiku deg-degan. Dan kini kami bertemu lagi lewat FB, yang sedang marak-maraknya.
---kemana aja, yang penting pergi. Ada ide????---
Balasnya. Ku balas lagi.
---aku pling suka k t4 ynk da buku’a,K perda misal’a. gmana??---
Hampir 5 menit aku menunggu balasannya.
---ok! Mau aku jemput? Tapi aku pulangnya jam 2 lebih---
---g usah,Aku bwa motor ndiri kug,Ea, gpp, aku jga pulang’a jam sgtuan,---
---oh…ya udah. Aku mau pulang dulu ya. Udah sore nih---
---ea---
Begitulah percakapan singkatku dengan Akmal lewat FB. Mungkin ini adalah satu-satunya sarana komunikasiku dengannya, karena Akmal tidak punya HP. Walaupun rumah kami tidak terlalu jauh, tapi aku merasa canggung jika ke rumahnya. Dan semoga aku tak kehilangan Akmal lagi. Setelah aku menemukannya kini. Amin.
Akhirnya ku menemukanmu
Ketika rasa ini mulai menyurut
Tapi, di hatiku yang terdalam
Masih ada dirimu
Yang tak ingin ku perlihatkan pada siapapun
Kecuali pada-Nya
22 Nopember 2008
-------#-------#-------#-------
Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, sehari sebelum Idul Adha. Mukaku terus sumringah sejak bangun tidur. Sahabatku, Rivvi, sampai bertanya-tanya melihat ekspresiku yang terlalu berlebihan ini. Tapi tak kuceritakan peristiwa ini padanya. Ra-ha-si-a.
Dentang bel yang kutunggu-tunggu akhirnya menyahut juga. Aku langsung setengah berlari menuju ke tempat parkir. Tak kupedulikan panggilan Rivvi yang biasanya pulang bersamaku. Yang aku pikirkan sekarang hanya bertemu dengan Akmal. Walau sepertinya awan tak mendukungku untuk bertemu dengan Akmal. Dia mengajak teman-temannya untuk menutupi langit kotaku dengan warnanya yang semakin pekat.
Sampai disana ternyata aku yang sampai duluan. Akmal belum datang, mungkin dia sedang di jalan. Kuhabiskan waktuku untuk menunggunya dengan membaca sebuah buku yang tergeletak di depanku. Jam Chelseaku sudah menunjukkan jam setengah empat. “Mungkin Akmal sedang dijalan atau sedang berteduh karena disana sedang hujan.” hiburku dalam hati. Aku semakin resah ketika aku baru ingat bahwa aku ada les hari ini. Aku langsung bergegas untuk keluar. Aku coba untuk online, siapa tahu dia mengirim pesan padaku. Ternyata tidak ada pesan darinya, hanya ada pesan dari Nessy yang mengabarkan bahwa dia tidak berangkat les. Setelah membalas pesan dari Nessy, tak lupa aku menuliskan pesan berisi permintamaafanku pada Akmal karena aku pergi sebelum dia datang.
Untung aku sudah meminta izin pada ibuku untuk langsung berangkat les sepulang sekolah. Jadi tak usah meminta izin lagi. Aku langsung melaju cepat, menerjang gerimis. Jam chelseaku sudah menunjukkan jam empat. Dan benar saja, aku sudah telat. Tak apa, sudah terbiasa seperti ini. Hahai. Aku langsung masuk ke kelasku, tak lupa kuberikan senyumku untuk Pak Sidiq, guru les matematikaku. Aku duduk di bangku belakang paling pojok. Karena hanya bangku itu yang tersisa. Beginilah jadinya, tak bisa konsen, padahal aku selalu menanti-nantikan pelajaran ini. Tiga anak didepanku terus saja bercerita, sepertinya tentang sebuah kecelakaan.
“Eh, Ta, tadi di depan sekolah kamu ada kecelakaan ya? Anak sekolahmu bukan?” tanya cewek di depanku, Willy.
“He’em. Anak sekolahku.” jawab cewek disebelah Willy, Rista.
“Parah enggak, Ta? Sendirian? Tertabrak atau jatuh sendiri? Gimana kejadiannya, Ta?” tanya cewek di sebelahku, Piya dengan cemasnya.
“Tanyanya satu-satu dong, Ya.” kata Willy. Piya cemberut, sambil bibirnya seperti berkata “biarin”. Rista tersenyum melihat tingkah mereka.
“Iya gitu. Patah tulang , dia sendirian. Aku enggak lihat kejadiannya. Tapi katanya sih dia langsung laju kencang setelah keluar dari gerbang. Mungkin dia enggak ingat kalau jalanan di depan sekolah licin saat hujan. Akhirnya dia terpeleset dan jatuh. Kaki kanannya tertimpa motornya sendiri.” cerita Rista panjang lebar. Kami beristighfar dalam hati dan miris mendengarnya.
“Anak mana sih, Ta?” tanya Willy.
“Lhah, bukannya dia tetanggaan sama Piya?” jawab Rista sambil memandang Piya.
“Siapa, Pi, tetanggamu yang kecelakaan?” desak Willy.
“Aku enggak tahu. Dari sepulang sekolah aku kan dirumah kamu, Wil.” jawab Piya.
“Oh, iya ya. Siapa sih, Ta?” tanya Willy lagi.
“Akmal. Tahu kan?” jawab Rista.
“Akmal?!’ jawab Willy dan Piya kaget, termasuk aku. Mereka semua, termasuk Pak Sidiq menatapku tajam, karena suaraku yang paling keras. Aku menjawab tatapan mereka dengan senyumanku. “Hm…, Pak.” kataku malu sambil tersenyum ke arah Pak Sidiq.
Tulangku seperti mencair. Lemas sungguh. Seperti mau pingsan. Aku tak tahu lagi bagaimana keadaan Akmal sekarang. Mereka langsung berhenti bercerita setelah kejadian tadi _sebenarnya sih tidak, mereka hanya memelankan suara mereka supaya tak ketahuan Pak Sidiq. Piya saja langsung bertukar tempat duduk dengan Frida yang duduk di samping Rista untuk melanjutkan ceritanya.
Sepulang les, aku masih saja kepikiran tentang Akmal. Bagaimana keadaannya sekarang? Sebenarnya bisa saja aku bertanya pada Piya, yang notabene rumahnya berdekatan dengan Akmal dan tadi juga mendengarkan cerita dari Rista. Tapi aku ragu. Tadi saja dia kaget begitu tahu yang kecelakaan adalah Akmal apalagi dia langsung bergegas pergi setelah Pak Sidiq mengucapkan salam.
Ketika aku berharap kau ada disini
Ternyata harapanku kosong kembali
Kau pergi tanpa mengucapkan salam padaku
Kini harapanku hanya satu,
Semoga aku bisa tahu keadaanmu, secepatnya!
Semoga Allah mengabulkannya
Dan kau selalu dalam perlindungan-Nya
27 Nopember 2008
-------#-------#-------#-------
Satu minggu setelah kejadian itu aku mengambil keputusan untuk menanyakan hal ini pada Piya. Tapi ternyata saat itu Piya dan keluarga besarnya sedang di Solo. Satu minggu kemudian akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Piya mengatakan Akmal sekarang dirawat di Solo, operasi tulang katanya. Dan dia juga pindah sekolah di sana untuk sementara, supaya memudahkan rawat jalan katanya. Itu berarti, sangat sulit bagiku untuk bertemu Akmal lagi. Hampir dua bulan sejak kejadian itu. Aku tak pernah tahu lagi bagaimana perkembangan Akmal. Kemarin sepulang les, aku lewat di depan rumahnya. Sepi. Yang ada hanya kakaknya.
Hari ini aku ulang tahun, tapi aku masih belum bisa tenang. Senyum yang kuberikan pada semua orang pada hari ini sepertinya hanyalah senyum semu yang sebenarnya tak bisa kusembunyikan. Aku masih memikirkan Akmal. Sungguh. Sangat. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu. Apa karena aku dia kecelakaan? Tapi, aku siapa dia? Aku ingin tahu kabar tetangnya. Sungguh. Sangat ingin…….walau dia mengatakannya lewat mimpi, dan walau itu hanya khayalku.
Kali ini ku coba untuk tenang, walau aku tak bisa
Untuk tak terlalu memaksa keingintahuanku
Tak ku lupa kupanjatkan doa pada-Nya
Agar sesuatu yang buruk tak terjadi padamu
21 Januari 2009
-------#-------#-------#-------
Hari ini genap satu tahun aku dan Akmal berjanji untuk bertemu di Perda. Walaupun hari ini bukan hari Rabu. Tapi hari ini adalah satu hari sebelum Idul Adha. Aku berjanji dalam hati, hari ini adalah hari terakhirku disini. Maksudku untuk terakhir kalinya aku ke Perda untuk menunggu bayang-bayang Akmal. Petugas Perda juga sampai bingung kenapa selama setahun ini aku tidak meminjam buku. Dan aku hanya tersenyum untuk menjawabnya. Ya, karena selama setahun ini setiap hari Rabu aku selalu disini. Berdiri di pojokan ruang sambil melihat keluar, berharap Akmal akan datang dengan wajahnya yang terengah-engah dan mencoba untuk tersenyum sambil berkata “Maaf Na, aku terlambat.” Tapi itu hanya khayalku.
Setelah bel pulang berdentang, tak ku sia-siakan waktuku untuk bergegas ke Perda. Sendirian. Rivvi yang tak betah berlama-lama dengan buku lebih memilih untuk pulang. Karena mau hujan katanya. Memang sudah gerimis sih. Tapi, aku tetap pergi ke Perda. Untuk mengubur kebiasaanku selama setahun ini. Dan untuk tak membuat Pak petugas perda bingung lagi. Hehe.
Sesampainya di sana, aku benar-benar basah kuyup. Ternyata hujan masih belum mau bersekutu denganku. Dia semakin bersemangat mengajak teman-temannya untuk menyerangku. Tapi, Alhamdulillah, aku pakai jaket. Jadi hanya jaket dan sebagian rokku yang basah, juga sepatuku tentunya, sampai mengeluarkan bunyi berdecit di lantai. Sesampainya di dalam, aku disambut dengan senyum hangat si Pak petugas Perda, “Nanti pinjem kan, Mbak? Ada banyak buku baru lho selama setahun ini.” godanya. “Hehe. Iya, Pak.” jawabku malu. Ternyata selama ini dia memperhatikan gelagatku yang tak pinjam buku selama setahun. Tapi mungkin juga dia mengenaliku karena aku adalah salah satu pelanggan setianya sejak SD ^^
Ternyata benar kata Pak penjaga tadi, banyak buku baru di sini. Waah, apa yang sebenarnya aku lakukan selama setahun ini ya?? Hm……. Aku bergegas untuk menghampiri rak buku tentang agama yang terletak di belakang paling pojok. Berharap juga ada banyak buku baru di sana. Saat aku melewati jendela, aku berhenti sejenak, di luar hujan. Memori setahun lalu kembali memenuhi otakku. Akmal, bagaimana kabarnya? Pikiranku melayang-layang, otakku dipenuhi Akmal, Akmal, dan Akmal. Sampai akhirnya aku merasakan kehadirannya di sini. Aku tersenyum sendiri. Mungkin aku sudah gila.
“Maaf Mbak, Perpus bukan tempat untuk melamun ya.” kata seseorang dari belakangku.
“Oh, maaf Mas…” kataku terputus. Aku sontak kaget begitu melihat siapa orang itu. Akmal!!
“Hai.” Sapanya masih dengan senyumnya yang dulu, senyum yang selalu kurindukan.
“Mas Akmal, aku dah nemu bukunya nih.” belum sempat aku menjawab sapaannya, seorang cewek lebih muda dariku menghampiri kami. Aku sepertinya pernah melihatnya sebelumnya. Oh ya, dia sepupu Akmal dari Solo. Dia memandangiku dengan pandangan aneh.
“Oh iya. Aku baru inget. Hari ini aku ada les. Aku…pulang dulu ya, Mal.” kataku gugup, merasa tak enak hati pada cewek itu, sambil berjalan menjauhi mereka.
“Mbak, katanya mau pinjam buku?” kata petugas Perpus yang tadi.
“Oh iya Pak. Maaf lupa.” kataku salting sambil setengah berlari mengambil dua buku yang tergeletak di atas meja tanpa melihat judulnya karena pandanganku masih mencari dan melirik sosok Akmal.
“Serius mbak, mau pinjem buku ini?” Tanya petugas perpus itu.
“I, iya, pak.” kataku sambil melirik Akmal dan cewek itu yang tengah menuju ke arahku.
“Aku tak mau melihatnya lagi. Aku mau pergi sekarang!” kataku dalam hati.
“Serius mau pinjem buku itu?” tanya Akmal begitu di sampingku sambil tertawa kecil.
“Eh, he’em.” jawabku tanpa melihat buku yang ku ambil tadi dan sambil bergeser menjauh darinya.
“Tips-tips sehat untuk ibu hamil? Dan, menjadi ibu rumah tangga mandiri? Kamu serius mau baca buku ini, Na?” tanyanya lagi menahan tawa. Sontak aku kaget.
“Astaghfirullah. Enggak jadi deh Pak. Maaf, pinjemnya lain kali aja ya, Pak.” kataku sambil berjalan menjauh, mengambil tasku, dan setengah berlari keluar.
“Eh, Mbak…” panggil petugas perpus itu. Tapi tak kuhiraukan. Terakhir ku lihat, Akmal sedang berbicara dengan petugas Perda.
Aku harap ini bukan mimpi, juga bukan khayalku
Kau di depanku dan tersenyum padaku
Tapi ada satu yang aku tak tahu
Ada sesuatu yang mencekat di hatiku
Semoga Allah tetap melindungiku
16 November 2009
-------#-------#-------#-------
-na, ke perda lagi yuk-
Pesan dari Akmal ini membuat pikiranku berhenti sejenak. Tak dapat berpikir. Hampir lima menit aku terus memandangi pesan itu. Kubaca berulang-ulang. Dan ku harap ini tak sekedar khayalku. Kuputuskan untuk menyetujuinya.
-ok.besok ea,jam 10-
Tak ada balasan darinya. Otakku kembali dipenuhi tentangnya. Huft. Akmal sudah pulang, apa yang harus kulakukan kali ini?
Kau datang lagi disaat aku benar-benar tak ingin memikirkanmu
Tak ingin tahu tentangmu lagi
Walau di hati sebenarnya tak seperti itu
Allah, bless me
17 Nopember 2009
-------#-------#-------#-------
Esoknya seperti janji kami, kami bertemu di Perda. Tak ada Akmal disana. Ku tunggu dia. Lama. Aku mulai gundah, cemas, dan jenuh. Saat ku beranjak untuk keluar Akmal sedang bergegas masuk ke Perda. Aku sengaja tak memanggilnya. “Na! Maaf.” katanya menghampiriku sambil terengah-engah. “Kita keluar aja yuk.” ajakku. Dia mengangguk dan mengikuti langkahku.
“Maaf Na, tadi aku baru ingat ada sesuatu yang harus kulakukan.” kata Akmal saat kami berada di bawah pohon depan Perda. “He’em.” jawabku singkat. Kami terdiam beberapa saat. “Udah sembuh beneran, Mal?” tanyaku mencairkan suasana. Dia tersenyum sambil mengangguk ke arahku. “Na, aku pengen cerita sesuatu sama kamu.” katanya masih memandang ke arahku. “Cerita aja.” jawabku sambil tersenyum dan sedikit grogi, jengah juga dipandangi seperti ini. Kami terdiam beberapa saat. Akmal menghela nafas. “Na, aku menyukai seseorang, dia udah jadi temanku sejak lama. Dulu dia sangat baik padaku. Walau itu bukan alasan utamaku menyukainya. Tapi sekarang aku tak seperti mengenalnya. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Tapi walaupun begitu, aku masih tetap menyukainya.” ceritanya panjang lebar. Aku terdiam. Jantungku berdetak terlalu cepat, terlalu melebihi detak jantung orang normal yang baru berlari. Akmal menyukai seseorang?! Tak sadarkah dia tentang perasaanku ini?! “Kamu sudah bilang padanya?” tanyaku dengan suara yang kubuat agar tak terdengar tercekat. Akmal menggeleng. “Terus sekarang kamu pengennya gimana?” tanyaku lagi. “Sebenernya aku ingin bilang ke dia. Tapi aku enggak enak hati. Aku enggak ingin dia menganggapku ingin berpacaran dengannya. Dan aku juga tak ingin nantinya dia bersikap tak biasa padaku setelah aku mengatakannya. Untuk saat ini aku hanya ingin dia tahu apa yang aku rasakan. Itu saja.” jawabnya panjang. Aku tercekat lagi. Akmal benar-benar ikhwan idamanku. A good boy. Beruntung orang yang disukai Akmal ini. Lucky girl. Who is that? That is who? “Apa aku mengenalnya?” selidikku dengan suara tercekat yang tak bisa kusembunyikan lagi_semoga dia tak menyadari ini. Akmal mengangguk. “Kau ingin melihatnya?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk, sambil menahan perasaanku yang membuncah. Dia mengeluarkan sebuah figura dari dalam tasnya. Menyerahkan padaku dalam keadaan terbalik sehingga tak nampak siapa yang ada di sana. Kubalik figura itu. Cermin?! Sebuah cermin?! Sungguh, sangat, hatiku bersorak gembira jika apa yang aku pikirkan ini adalah kenyataannya. “Sekarang kau tahu kan, Na?” tanya Akmal sambil tersenyum ke arahku. Aku balik tersenyum ke arahnya, senyum yang tak kalah manis dengan senyumnya. “Tapi, Na, aku ingin kita tetap seperti ini. Karena aku pikir belum saatnya kita berdua-duaan seperti remaja kebanyakan. Karena kita masih terlalu dini, masih belum tahu makna sebenarnya dari ini. Aku senang kau merespon perasaanku, Na. Dan aku harap kita bisa terus menjaganya. Mm… aku berbicara seperti itu dari catatan temanku. Kau ingin seperti itu bukan?” jelas Akmal sambil memandang lurus ke depan. Aku mengangguk. Ya, memang seperti itu yang ku inginkan. Teman Akmal itu, ya aku. Karena yang dikatakan akmal tadi adalah catatanku. “Tapi Akmal, satu lagi. Aku ingin sampai kita lulus kuliah nanti, kita tak bertemu dulu. Kau mau?” tambahku. Akmal memicingkan alisnya pertanda bingung. “Aku takut jika kita bertemu nanti, ada sesuatu yang Allah benci yang kita lakukan. Mungkin sekarang kita tak seperti itu. Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Dan ku harap sampai saat itu tiba kita bisa saling menjaga dan menjaga diri kita masing-masing. Kau mau kan, Akmal?” kataku kemudian memandangnya. “Baiklah jika itu maumu. Tapi kuharap komunikasi kita tetap berlanjut.” Kata akmal sambil memainkan rumput. “Insyaallah.” jawabku singkat sambil memandang ke arah langit. “Ya, insyaallah.” kata Akmal sambil melirikku kemudian memandang langit yang tak berawan.
Ku harap ini bukan khayalku lagi
Kau benar-benar ada disini, disisiku
Ku harap kita juga bisa menjaganya
Menjaga bersama-Nya
18 Nopember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar