" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Senin, 16 Juli 2012

Saudara Jauh


H
uft. Bagaimana ibu itu, mengapa aku…. “Hai Cit, untung aku ketemu kamu di sini.” kata Sinna mengagetkanku. “Ada apa, Sin?” tanyaku tak bersemangat. “Bantuin aku ya.” katanya memelas. Aku menjawabnya hanya dengan mengangkat alisku. “Kamu saudara jauhnya Arlan kan?” tanyanya agak menggantung. “He’em. Terus?” jawabku malas. Memang hebat Arlan itu, membuat sandiwara seperti ini. Entah apa dia sudah tahu atau pura-pura tidak tahu tentang janji yang ku anggap bodoh itu. “Aku pengen kamu bantu aku deket sama dia.” katanya lagi. “Bukannya Arlan lebih deket sama kamu daripada sama aku?” tanyaku mengerti apa yang Sinna inginkan. “Tapi aku pengen lebih. Lagipula kamu kan saudara jauhnya Arlan, Cit. Please.” katanya memelas lagi. Huft. Kalau aku memang saudaranya, memangnya aku enak hati untuk seperti itu? Pikirku dalam hati. “Tapi katamu, Arlan suka Rena, sepupumu.” kataku mencoba menolak. “Tapi Rena kan sukanya sama orang lain. Ayolah, Cit. Bantu aku ya.” katanya mencoba mendesakku. Aku mengangguk
lemah. “Nhah, gitu dong. Itu baru sohibku.” katanya sumringah. Huft. Muncul masalah satu lagi.
                        +                      !                       @                    12                    @
Malamnya aku langsung mengirim pesan untuk Arlan karena aku sudah tak tahan dengan ocehan Sinna tentangnya seharian ini.
From            : citraan_nisa
To                : arlansyah_aditya
Assalamu’alaikum,
Arlansyah Aditya, ada yang mencari-cari kamu terus tuh,
Lama aku menunggu balasannya. Mungkin kini dia memang sedang sibuk meluncurkan pdkt-nya dengan Rena. Pokoknya jangan sampai terjadi. Entah kenapa aku tiba-tiba berpikiran begitu.
From            : arlansyah_aditya
To                : citraan_nisa
Waallaikum,
siapa, cit??
Apa yang mesti aku tulis? Aku bingung. Entah aku tak tahu apa ini, tapi ada sesuatu yang berkecamuk di diriku.
From            : citraan_nisa
To                : arlansyah_aditya
Besok kamu pasti tahu. Ke depan kelasku aja sepulang sekolah. Ok??
Lama lagi dia belum membalas
From            : arlansyah_aditya
To                : citraan_nisa
Terserah kamu aja deh
Boleh tidak ya, aku Tanya masalah kedekatannya dengan Rena. Tanya atau tidak ya? Tanya. Tidak. Tanya. Tidak. Mmm. Tanya saja deh. Bismillah.
From            : citraan_nisa
To                : arlansyah_aditya
Arlan, boleh aku tanya sesuatu?
Kali ini langsung dibalasnya.
From            : arlansyah_aditya
To                : citraan_nisa
Apa??
From            : citraan_nisa
To                : arlansyah_aditya
Kamu suka sama Rena ya? Maaf kalau pertanyaanku terlalu gamblang.
Nb:aku suka sandiwara yang kamu buat tentang aku saudara jauh kamu.
Lama sekali tak dibalasnya. Setengah jam telah berlalu. Apa dia tersinggung dengan pertanyaanku ya? Tapi apa pedulinya. Aku siapa dia? Hanya seseorang yang secara tidak langsung dipaksa masuk ke kehidupannya. Sudah satu jam berlalu. Huft. “Tadi sudah ketemu, Cit?” tanya ibuku mengejutkanku. “Su, sudah, Bu.” kataku berbohong. “Oh, iya. Ternyata dia sudah diberitahu sejak kelas dua, Cit. Berarti sudah hampir satu tahun ini dia tahu tentang perjanjian kami ini. Bagaimana kabarnya sekarang? Kapan-kapan ajak kesini ya.” kata ibuku panjang lebar sama dengan aku malas mendengarnya. Tak mengertikah beliau-beliau tentang anak-anaknya ini? “Ya, Bu.” jawabku singkat karena aku tak ingin percakapan kami ini lebih panjang. “Ya sudah, tidur gih. Sudah malem.” kata ibuku kemudian berjalan keluar kamarku. Benar-benar terlalu kompleks. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Arlan! Ku lihat di message-ku. Belum ada balasan darinya. Ya sudahlahlah. Yang penting aku sudah satu langkah lebih maju melancarkan misi Sinna. Semoga besok lebih baik. Amin.
                        +                      !                       @                    12                    @
        “Hallo, my sistta.” kata Sinna menyongsong ke bangkuku begitu guru kami keluar kelas. “Sekarang Arlan tak langsung pulang. Nanti dia bakalan di depan kelas.” kataku sambil tersenyum mengerti maksudnya terus mengikutiku. “Makasih ya, Cit.” katanya mau memelukku. “Tak usah, tak usah.” kataku menghindar sambil berjingkat dari bangkuku. “Auw!!” jerit seseorang dari arah belakangku. “Maaf, maaf, tak sengaja.” kataku sambil berbalik. Arlan?! Not responding. Dia terus berjalan keluar kelas. Always stay cool. “Tuh.” kataku sambil menyenggol bahu Sinna. Sinna mengangguk dan tersenyum, kemudian keluar sambil berbenah diri. Ya sudahlah, mau Rena, mau Sinna, bukan urusanku. Kataku dalam hati sambil memasukkan buku ke dalam tasku. Hai, sepertinya tadi Arlan membisikkan sesuatu padaku. Apa ya??? Hm……. Oh iya, kalau tidak salah, “Jangan buat aku nunggu.”. iya benar itu. Hahai. Maaf ya Arlan, yang kau tunggu bukan aku.
                        +                      !                       @                    12                    @
        Hoahmm. Ramai sekali rumahku ini. Kataku dalam hati ketika kudengar bunyi bising dari arah ruang tamu yang tepat berada di samping kamarku. Ku longokkan kepala, penasaran dengan tamu yang menjadi salah satu faktor kebangunanku. Tante Lani? Om Arman? Hampir saja aku tak percaya dengan si-a-pa-ta-mu-i-tu. Kulihat lagi barangkali ada manusia itu. Huft, syukurlah, sepertinya tidak ada. Kataku sambil mengelus dada. “Hei, sedang apa kamu?” kata seseorang tepat disampingku mengagetkanku. Aku berjingkat kaget. “Arlan!”. “Ssstt” dia menyuruhku diam dan mengikutinya. Aku hanya mengangguk-angguk dan mengikutinya dari arah belakang. “Ada apa, Ar?” tanyaku bingung setelah kami duduk di bangku ruang keluarga. “Seharusnya aku yang tanya seperti itu.” katanya agak keras tapi ditahannya. Aku diam, bingung. Tak tahu apa maksudnya. Arlan terus memandangiku. “Sinna.” katanya singkat, membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Apa yang kamu rencanain?” tanyanya kemudian. Aku hanya menggeleng. Tak mau mengatakan apa yang kurencanakan untuk Sinna. “Kenapa tadi yang datang malah Sinna?tanyanya datar dengan tatapan tajam, membuat matanya semakin terlihat sipit. “Oh itu. Maaf tadi aku keluar dulu dari kelas, soalnya ada ekskul. Jadi daripada gagalin janji, mendingan Sinna yang nemenin kamu, Ar.” kataku berbohong mencoba mencairkan suasana. Dia memandangku tak percaya. “Emangnya kamu mau bilang apa ke aku?” tanyanya lagi, kini matanya beralih ke TV. “Tak ada, hanya sekedar ingin menyampaikan kekangenan ibu sama kamu.” kataku datar. “Oh.” jawabnya singkat. “Ar, ayo pulang.” Terdengar suara tante lani dari kejauhan.” “Ya, Bun.” jawab Arlan tak kalah keras. “Maaf Cit, aku tak mau ikut permainanmu. Aku sudah nentuin pilihanku. Besok kamu bakalan tahu. Maaf.” katanya lagi, kemudian langsung berlari ke sumber suara ibunya. Apa maksudnya? Aku bingung.
                        +                      !                       @                    12                    @
        Hari yang dimaksud Arlan pun tiba. Hari ini, sampai istirahat kedua selesaipun aku belum tahu yang dimaksud Arlan kemarin. Terlalu banyak pikiranku yang menduga-duga apa yang akan dilakukan Arlan, entah itu pada Rena, atau malah Sinna. “Citra, makasih ya kemarin udah bikin aku bareng Arlan. Oh ya, kemarin sepulang sekolah kamu kemana? Aku cari-cari kok nggak ada. Aku sms dan telepon kok nggak diangkat.” katanya panjang lebar sama dengan membuatku menambah kebohonganku. “Oh maaf, kemarin aku ada janji sama kakakku, terus ha-pe’ku diganti nomor sama dia. Maaf ya, Sin. Oh ya, gimana kemarin? Ada kemajuankah?” kataku tak berterus terang kalau aku sengaja mematikan ha-pe’ku karena aku tak mau dengar ocehan Sinna tentang Arlan. Sinna mengangguk-angguk dengan ekspresi yang super duper gembira. “Makasih ya, Cit. Nanti malam Arlan bakal ngajak aku pergi lho.” katanya sumringah. Deg! Napasku tiba-tiba terhenti untuk sesaat. Tak tahu kenapa. “Kemana?” selidikku. “Ra-ha-si-a. Aku juga nggak tahu.” jawabnya. Aku hanya meng”oh” panjang. Dan mungkin ini yang dimaksud oleh Arlan.
                        +                      !                       @                    12                    @
        “Tumben Bu, mas Raka belum ke Semarang.” kataku ketika kulihat kakakku ini belum juga berkemas ke Semarang. “Tanya saja sendiri.” jawab ibuku sambil tersenyum penuh arti. “Koq belum ke Semarang, mas?” tanyaku menghampiri kakakku yang tengah menyisir rambutnya itu. Dia hanya menggeleng. “Koq rapi banget tho? Mangnya mau kemana? Ibu juga rapi.” tanyaku penasaran. “Lhoh, koq kamu belum juga ganti baju. Ayo sana ganti cepet. Mau ikut kan?” tanyanya balik dan kaget melihatku yang masih memakai kaos oblong kesayanganku. Aku langsung mengangguk cepat dan berganti pakaian, walau sebenarnya aku masih bingung, ini mau kemana tho??
        Suara itu?! Tante Lani dan Om Arman?! Jangan-jangan ini sudah waktunya!! Huaaa, aku tak mau!! Ku pertajam lagi telingaku. Bahaya ini kalau ada Arlan!! Sepertinya, tak ada suaranya. Aku bernapas lega dan teru mengikuti kakakku dari belakang. “Arlannya mana, tante?” tanya kakakku begitu kami sampai di ruang tamu. “Eh Citra, kamu ditunggu Arlan di luar.” kata tante Lani begitu melihatku. Teman?? Syukurlah. Ini memang bukan waktunya. Kataku lega sambil mengelus dada. Tapi, teman siapa ya? Penasaran juga akhirnya. Kulihat Arlan berdiri di samping pintu, dan tak ku lihat temannya itu. “Ada apa, Ar?” tanyaku tanpa basa-basi. “Ini dia orangnya.” katanya tersenyum ke arahku. Bukan senyum Arlan yang biasanya. “Kamu sama sia…….pa.” tanyaku terputus begitu ku lihat temannya itu. “Sinna??” desisku. “Hai, Cit.” sapanya ragu. Ku pandang Arlan penuh arti, seolah-olah berkata “Apa maksudnya ini??” “Tenang Cit, aku sudah tahu Sinna koq.” katanya tersenyum ke arah Sinna, masih dengan senyum anehnya yang tadi. “Se-mu-a-nya.” lanjutnya. Ku lihat Sinna hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Oh, sudah jam segini. Aku pulang dulu ya.” kata Sinna sambil menyerahkan sesuatu untukku. “Yuk, ku anter. Bentar ya, Cit.” Untuk sesaat aku tak sadar, dan hanya ku jawab dengan anggukan. “Daah, Cit.” pamit Sinna membuyarkan pikiranku. “Dadaah.” Kataku akhirnya lebih bersemangat. Tak tahu darimana datangnya. Tapi, bena, sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi barusan. Aku tak tahu maksudnya. Kataku dalam hati sambil ku lihat dari kejauhan Arlan berboncengan dengan Sinna. Hmm……. Eh, apa ini?!? Aku baru sadar ada sesuatu di tanganku. Sebuah kado yanh bungkusannya sudah dibuka tapi masih rapi. Di luarnya terdapat surat yang tertempel pada kertas bungkus kado. Berwarna biru muda. Warna kesukaanku.

Aku senang bila kamu punya perasaan itu padaku
Tapi maaf, aku juga manusia yang punya hak untuk merasa dan memilih
Di dalam sini ada gambaran orang yang kumaksud, semoga kau mengerti
Terimakasih telah menjadi sahabat baiknya
Teruslah seperti itu
Karena aku lebih senang denganmu yang terus menjaganya
Maaf, dialah yang membuatku tak berpaling selama delapan tahun ini
Semoga semuanya bisa lebih baik sekarang
Arlansyah Aditya

        Aku belum mengerti maksudnya. Kenapa diberikan padaku?? Kenapa bukan Rena?? Ku buka kadonya. Sebuah figura. Kulihat siapa yang dimaksud Arlan itu. ??? Foto Arlan, Sinna, dan Rena, foto yang ku foto ketika study tour di Bali. Jadi benar Rena?? Eh, apa ini?? Ada sebuah tanda panah ke samping di figura ini. Aku bingung. Ku balik figuranya. Cermin?? “Sekarang tahu kan?? Dia adalah orang yang memotret kita.” Ini tulisan Arlan. Jadi, Arlan?? Kutepuk-tepuk pipik, ini bukan mimpi. Ada Arlan di sini di foto ini. Lhoh, apa lagi ini. Surat??
“Jangan senyum-senyum sendiri, Cit. coba deh ngaca, pasti kamu bakalan liyat orang yang agak nggak waras disana. ^o^”

        Tulisan Arlan lagi. dia memang sahabat terbaikku sejak dulu. “Saudara jauhku” juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar