Terlihat jelas di wajahnya. Kulit keriput dan guratan kehidupan. Sesekali dia lihat anak dan suaminya yang dengan setia menungguinya. Kemudian kembali dengan rutinitasnya yang tak jarang terselip pikiran tentang sesuatu yang terus mendesaknya. Kemudian teringat kembali, ada Tuhan yang senantiasa di sisinya. Terdengar rengekan anaknya. Wanita tua itu segera masuk ke dalam rumah yang hanya berukuran tujuh kali sembilan meter itu. Menanyai apa yang diinginkan anak perempuannya itu. Dia mengambil beberapa barang yang sekiranya diinginkan anaknya itu. Tapi anak sulungnya itu terus menggeleng. Sampai kemudian dia mengambil air minum dan meminumkannya pada anaknya itu. Terlihat samar-samar senyuman tipis di bibirnya ketika melihat anaknya tersenyum. Sebuah senyum yang cukup hambar. Terasa berat. Kemudian dia layangkan pandangannya pada suaminya. Diam. Menghela napas panjang. Kemudian pergi dan melanjutkan rutisitasnya dengan tetap ditunggui anak dan suami tersayangnya itu.
“Permisi, Nek.” kata seseorang menyapanya. “Ya.” jawabnya singkat. Di lihatnya seorang
sebayanya mendekatinya sambil membawa pikulan. “Nenek sedang apa?” tanya perempuan tua itu. “Sedang mengumpulkan plastik.” jawabnya sembari menghentikan rutinitasnya. “Nenek kok kelihatan sedih, sedang memikirkan apa?” tanya perempuan tua itu lagi. “Tidak kok, saya tidak memikirkan apa-apa, Nek.” katanya agak canggung memanggil orang sebayanya itu dengan sebutan “Nek”. “Kok sepertinya sedang susah.” tanya nenek itu lagi. Kemudian dia menceritakkan kehidupannya, tentang dia, anak sulungnya yang cacat sejak lahir, sampai suaminya yang terkena stroke. “Kita sama-sama susah, nek.” kata perempuan tua itu. “Apa nenek mau membeli nasi aking saya?” tanya perempuan tua itu. Yang di ajak bicara hanya diam. “Saya punya nasi aking, buat nenek saja ya. Saya tidak pernah menjualnya.” katanya. “Saya mau memberi makan cucu saya, tapi berupa beras. Apa nenek mau membeli nasi aking saya ini?” tanya perempuan tua itu lagi, kali ini sambil menunjukkan setengah pikul nasi akingnya. Dia hanya diam. “Tempatnya saya beli sekalian ya.” katanya. “Nenek punya plastik?” tanya perempuan tua itu. “Sebentar ya.” katanya sembari memasuki rumah kontrakannya itu. Kemudian keluar dengan membawa kantong plastik besar. “Nenek mau membeli nasi aking saya?” tanya perempuan tua itu. “Ya.” jawabnya sambil tersenyum. “Berapa?” tanyanya. “Seadanya saja. Yang penting bisa buat beli beras untuk cucu saya.” Jawab perempuan tua itu. Dia merogoh sakunya. Dia keluarkan uang yang tersisa di sakunya itu, dua sepuluh ribuan. Tanpa ragu dia berikan pada perempuan tua itu. Kemudian perempuan tua itu pergi tanpa lupa mengucapkan terimakasih padanya. Dia kembali melanjutkan rutinitasnya. Melirik dua orang yang setia menungguinya, anak dan suaminya tersayang. Kini semakin berat sebenarnya, uang yang hanya dipunyainya itu telah berpindah tangan. Dia pandangi nasi aking yang baru diperolehnya itu. Dia hela napas panjang. Kali ini dengan senyuman. Sebuah senyuman harapan. Berharap Tuhan melindunginya dan keluarganya. Berharap esok masih diberi kesehatan dan bisa mendapatkan uang.
sebayanya mendekatinya sambil membawa pikulan. “Nenek sedang apa?” tanya perempuan tua itu. “Sedang mengumpulkan plastik.” jawabnya sembari menghentikan rutinitasnya. “Nenek kok kelihatan sedih, sedang memikirkan apa?” tanya perempuan tua itu lagi. “Tidak kok, saya tidak memikirkan apa-apa, Nek.” katanya agak canggung memanggil orang sebayanya itu dengan sebutan “Nek”. “Kok sepertinya sedang susah.” tanya nenek itu lagi. Kemudian dia menceritakkan kehidupannya, tentang dia, anak sulungnya yang cacat sejak lahir, sampai suaminya yang terkena stroke. “Kita sama-sama susah, nek.” kata perempuan tua itu. “Apa nenek mau membeli nasi aking saya?” tanya perempuan tua itu. Yang di ajak bicara hanya diam. “Saya punya nasi aking, buat nenek saja ya. Saya tidak pernah menjualnya.” katanya. “Saya mau memberi makan cucu saya, tapi berupa beras. Apa nenek mau membeli nasi aking saya ini?” tanya perempuan tua itu lagi, kali ini sambil menunjukkan setengah pikul nasi akingnya. Dia hanya diam. “Tempatnya saya beli sekalian ya.” katanya. “Nenek punya plastik?” tanya perempuan tua itu. “Sebentar ya.” katanya sembari memasuki rumah kontrakannya itu. Kemudian keluar dengan membawa kantong plastik besar. “Nenek mau membeli nasi aking saya?” tanya perempuan tua itu. “Ya.” jawabnya sambil tersenyum. “Berapa?” tanyanya. “Seadanya saja. Yang penting bisa buat beli beras untuk cucu saya.” Jawab perempuan tua itu. Dia merogoh sakunya. Dia keluarkan uang yang tersisa di sakunya itu, dua sepuluh ribuan. Tanpa ragu dia berikan pada perempuan tua itu. Kemudian perempuan tua itu pergi tanpa lupa mengucapkan terimakasih padanya. Dia kembali melanjutkan rutinitasnya. Melirik dua orang yang setia menungguinya, anak dan suaminya tersayang. Kini semakin berat sebenarnya, uang yang hanya dipunyainya itu telah berpindah tangan. Dia pandangi nasi aking yang baru diperolehnya itu. Dia hela napas panjang. Kali ini dengan senyuman. Sebuah senyuman harapan. Berharap Tuhan melindunginya dan keluarganya. Berharap esok masih diberi kesehatan dan bisa mendapatkan uang.
(terinspirasi dari “Minta Tolong”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar