" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Selasa, 24 April 2012

Mencoba, macet, dan patah hati

Tiga hal yang menarik perhatianku hari ini. Bukan. Bukan aku yang mencoba macet kemudian patah hati. Tak ada hubungannya dengan kalimat itu ( :P ). Selasa pagi yang sekali lagi membuat mata dan pikiranku lebih terbuka. Dengan-Mu, dia, kalian, dan semuanya, ku tahu semua bisa kita atasi.

Mencoba bukan hal yang mudah ataupun susah. Mudah jika kau sudah berani memulai dan punya keyakinan kau bisa setelahnya karena tak akan bisa atau tak bisa jika tak kau coba. Akan susah ketika kau takut dengan resiko yang sebenarnya adalah feedback dari yang telah kau usahakan. Mencoba? Siapa takut. Itulah yang harusnya kita lakukan dan katakan. Mencoba tak berarti iseng atau sesuka hati, tapi dengan sepenuh hati. Hari ini penulis tahu apa bedanya kolam renang sedalam 0,8 meter dan 1,15 meter karena mencoba yang lebih dalam. Sekalipun awalnya takut karena sudah hampir setahun tak renang di kedalaman itu (hehe), tapi alhamdulillah berani mencoba juga. Mencoba. Ya. Itulah yang harus Anda lakukan ketika
menghadapi sesuatu yang baru. Mencoba tak hanya berhenti pada satu perbuatan itu. Berani memulai harus berani berhasil dan menghadapi resiko yang muncul. Yakinlah kau bisa, maka kau kan bisa. Do’t say “can’t” before you try. FIGHTING!! ^^!

Macet adalah hal yang lumrah dan biasa di hampir seluruh jalan yang mempunyai pergerakan kendaraan dengan intensitas tinggi dan aktivitas yang intens di dalamnya. Siapa yang salah? Jalan yang sempit? Angkutan umum yang tak taat aturan? Polisi yang tak memadai dan kompeten untuk mengurusi lalu lintas? (hei, tugas pak dan bu polisi tak hanya itu) Atau motor yang dengan sesuka hati nyelip sana sini karena merasa dirinya ramping? Sekali lagi, kembali ke individu masing-masing dalam penyikapan terhadap kemacetan (dan ketika saya mengatakan ini maka tak ada pertanyaan dan jawaban lain). sepanjang-panjangnya jalan, lebar jalan tak mudah untuk ditambah karena jalan raya yang semakin lama mepet ke bangunan atau lantai di sampingnya (kalau nggak ada trotoar lho ya). Luas jalan yang terbatas tak sebanding dengan volum kendaraan yang semakin meigkat dikarenakan pergerakan masyarakat dan aktivitas di dalamnya semakin meningkat dan membutuhkan efisiensi waktu dalam aktivitasnya tersebut. Bisa kita lihat para pelaku atau korban dalam kemacetan adalah para pengguna kendaraan pribadi yang benar-benar prbadi (satu kendaraan satu orang). Bisa Anda bayangkan jika Anda berangkat ke sekolah, kampus, atau kantor bersamaan dengan dua puluh orang lainnya yang masing-masing menggunakan kendaraan pribadi. Ditambah beberapa angkutan umum lainnya yang tak jarang berhenti atau sekedar menunggu penumpang. Lalu, siapa yang salah? Kalau ada yang salah, berarti salah semua. Kalau tak ada, berarti kita yang tak tahu diri. Namun, dalam pandangan saya, dasar dari permasalahan ini adalah satu, luas jalan yang terbatas tak sebanding dengan jumlah kendaraan yang semakin meningkat. Lantas apa yang harus dibenahi? Menambah luas jalan atau mengurangi jumlah kendaraan? Saya pilih yang terakhir. Mengurangi kendaraan pun tak semudah bersin. Pemerintah sebenarnya secara tidak langsung sudah membatasinya dengan uji kelayakan kendaraan yang sudah berumur untuk mengurangi jumlah kendaraan, namun masih saja ada oknum yang meloloskannya. Atau diberlakukannya 3 in 1 dalam ruas jalan tertentu di Jakarta. Namun karena manusia orang yang berakal, mereka tak hanya meminta teman-temannya untuk berangkat bersama agar mengurangi jumlah kendaraan namun malah meminta jasa orang sebagai partner mereka dalam melegalkan aturan 3 in 1 tersebut. Alangkah baiknya ketika kualitas dan jumlah kendaraan umum meningkat agar orang percaya dan mempergunaakan angkutan umum dalam segala aktivitas mereka sehingga kendaraan pribadi hanya digunakan oleh minoritas orang saja.

Patah hati? Siapa takut! ( :D ) Bagaimana bisa patah padahal hati tak rapuh dan riskan patah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar