" Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan bumi. ..." (Q.S. Yunus : 101)

Laman

Minggu, 22 Januari 2012

you're my intuition

Masih ku pandangi wanita itu. “Kenapa, Shi?” tanya Mas Ridwan. “Nggak papa.” jawabku singkat dan tersenyum sambil memalingkan muka dari perempuan itu. Bukannya ada apa-apa, tapi perempuan pekerja seperti dia mengingatkanku pada ibu dan mertuaku. “Shi, besok kita jadi ke rumah ibu kan?” tanyaku. “Iya, insyaAllah, ibu kita dua-duanya.” jawabnya sambil terus menyetir. Ku pandangi dia. Suamiku. Iya, dia yang kini ada di sisiku. “Ada apa?” tanyanya mengetahui aku terus memperhatikannya. Aku hanya menggeleng dan mengalihkan pandanganku. Berdua seperti ini rasanya benar-benar aku belum bisa. Walau telah berjalan dua bulan ini. “Shi, mau bawa apa buat ibu?” tanyanya begitu kami sampai rumah. “Kemarin aku telepon, ibu bilang nggak pengen apa-apa, Shi. Cuman pengen kita katanya.” kataku sambil membuka pintu tengah mobil. “Ah, ibu itu bisa saja.” katanya. “Sini.” lanjutnya begitu melihatku mengambil barang-barang pekerjaanku. “Terimakasih.” jawabku singkat. “Kembali kasih.” katanya lagi. Terlihat dia sedikit terengah dengan barang bawaanku yang satu kardus penuh buku itu. “Aku bantu ya.” kataku menyusulnya.
“Nggak usah.” jawabnya Masih terus berjalan. “Sini.” kataku menghadangnya. Kasihan juga melihatnya berpeluh seperti itu. “Kamu bikinin aku kopi saja ya.” katanya melewatiku. Aku diam. Entah sejak kapan aku tak bisa memandang matanya, dan mungkin dia merasakan hal yang sama, kemudian dia melakukan seperti itu juga. Ku pandangi punggungnya. “Hoshi.” desisku. “Ya.” katanya memalingkan badannya sambil tersenyum. “Eh.” kataku kaget.
Hari ini kami berkunjung ke rumah orangtuaku, dan nanti sore ke rumah mertuaku. Kami sengaja tak membedakan dalam memanggil mereka, karena kami seibu dan sebapak. Begitu kata kami. “Bukannya jam segini ibu masih di sekolah?” tanyanya padaku begitu kami melewati tulisan “Selamat Datang di Kabupaten Pekalongan”. “Eh iya ya. Aku telepon dulu ya, Shi.” kataku. “Assalamualaikum.” sapaku. “Wa’alaikummussalam. Ini Ibu masih di sekolah. Pulangnya mungkin sore.” kata beliau. Aku menanyakan pendapat suamiku. “Kita kesana saja.” kata suamiku tanpa bersuara. Aku mengangguk. “Kami kesana ya, Bu.” kataku. “Iya, Ibu tunggu.” kata beliau di ujung sana. Kamipun bergegas melaju. Sesampainya di sana, kami langsung di sambut Pak Min, sang penjaga sekolah yang kini telah menjadi satpam. “Eh, Mbak Ratih, Mas Ridwan, mari Masuk. Ibu lagi rapat.” katanya mengiringi kami yang baru keluar dari mobil. Aku dan Mas Ridwan menyalami beliau dan mengikuti langkah beliau ke ruang tamu kepala sekolah. “Silahkan.” kata Pak Min. “Terimakasih, Pak.” jawab kami hampir bebarengan. Kami saling diam. Ada apa denganku ini? Ku pandangi dia. Dia tengah memperhatikan ruangan ini. Ah, apa yang kulakukan? “Apa mau keluar saja?” tanya Mas Ridwan. Aku hanya mengangguk tanpa berpikir. “Ayo.” ajaknya. “Iya.” jawabku singkat dan mengikutinya dari belakang. “Ratih.” panggil seseorang dari belakangku. “Ya.” jawabku sambil membalikkan badan. “Hoshi.” panggilku. “Ya.” jawab Mas Ridwan. Dia berjalan ke arahku dan langsung menggamit tanganku. “Apa kabar, Tan?” tanya Mas Ridwan. “Alhamdulillah baik.” jawab Titan sambil memandangiku. “Sekarang kerja di sini ya?” tanya Mas Ridwan. Titan hanya mengangguk dan seolah akan berkata sesuatu. Aku semakin menggenggam erat tangan Mas Ridwan. “Udah lama, Tan?” tanya Mas Ridwan lagi. “Belum, hampir dua minggu ini.” jawabnya, kali ini dia pandangi Mas Ridwan. “Eh ya, kamu lihat Pak Min nggak? Kami pengen ngobrol sama dia. Iya kan, Shi.” tanyanya dan menyentuh tanganku, seolah berkata “tenanglah”. “Tadi ku lihat Pak Min keluar, kayaknya ke warung depan buat beli rokok.” jawabnya. Mas Ridwan hanya meng-oh. Kami terdiam. Skak. Aku mati kutu. Ku lihat tanganku yang menggenggam tangan Mas Ridwan. Pertama kalinya aku menggenggam tangannya. Ingin ku lepas. Ku tarik tanganku perlahan. Tapi dia tak mau dan tersenyum ke arahku. “Iya, tenang, sebentar lagi ibu datang kok, sayang.” katanya. “Iya.” jawabku juga tersenyum. Sepertinya aku benar-benar senang sekarang. “Ibu Masih lama ya, Tan?” tanyaku pada Titan. Dia lihat jam tangannya. “Mungkin sebentar lagi selesai.” jawabnya. “Eh ya, tadi kau mau ngambil apa ke ruang TU?” tanyaku karena sebelumnya ku lihat dia hendak masuk ruang TU saat memanggilku. “Astaghfirullah! Untung kau ingatin, Tih. Makasih, ya.” katanya sembari pergi. “Mari, Mas.” lanjutnya sambil berbalik dan mengangguk ke arah Mas Ridwan. “Iya, silahkan.” kata Mas Ridwan tersenyum. Ku tarik napasku perlahan. “Kau tenang sekarang?” tanyanya sambil memandangi Titan dari jendela di samping kami. Aku menggeleng. “Belum.” jawabku. Dia lihat ke arahku dan menampakkan ekspresi bingung. Ku lirik tanganku yang Masih digandengnya. Dia tertawa. “Begini lebih baik.” katanya. Aku hanya tersenyum. Menurutku juga begitu. “Ibu.” sapa Mas Ridwan melepas tanganku dan melambaikan tangan ke arah ibuku.
“Maaf ya, Ibu nggak bisa nemenin kalian sampai sore.” kata ibuku begitu kami pamit. “Iya, Bu, nggak papa.” kataku. “Setelah ini kalian mau kemana?” tanya ibuku. “Ke rumah ibu, bu.” jawab Mas Ridwan. “Titip salam ya, buat ibu bapak. Maaf, Ibu belum sempat kesana.” kata ibu. “Siap, Bu, segera saya sampaikan.” jawab Mas Ridwan dengan nada militer. Kami tertawa. “Kami pamit dulu ya, Bu.” kataku. “Iya, hati-hati ya.” kata ibu sambil kucium pipi kanan dan kirinya. “Hati-hati ya, Nak.” kata ibuku begitu Mas Ridwan mencium tangannya. Mas Ridwan hanya mengangguk sambil tersenyum, dan kemudian kami pergi.
Sepanjang perjalanan kami terdiam. Aku kira semua akan lebih baik mulai sekarang. “Mas.” panggilku. “Shi.” panggillku. “Iya, Shi.” jawabnya sambil melihatku, kemudian memandang ke arah jalan lagi. “Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum. “Nggak kenapa-napa.” jawabku. “Teruslah menyetir.” lanjutku. “Oke.” jawabnya singkat. “Apa kau lapar?” tanyanya tanpa memandangiku. “Kau lapar, Shi?” tanyaku balik. Dia mengangguk. “Kita berhenti di sini ya.” katanya sambil melajukan mobil ke seberang jalan. Kami pun turun. Ini kan yang waktu itu. Warung pinggiran. “Nasi goreng dua, jeruk hangat dua ya, Mba’.” pesan Mas Ridwan begitu kami memasuki warung di tepi jalan pasar ini. “Apa semua lebih baik sekarang?” tanyanya tiba-tiba ketika kami baru saja duduk. “Kenapa, Mas?” tanyaku karena tak terlalu mendengar. “Apa masih ada titan?” tanyanya lagi. Ku pandangi dia. Aku tersenyum. “Masih ya?” tanyanya lagi. “Menurut Mas?” tanyaku balik. “Udah nggak ada.” jawabnya pasti dan cepat.  “Mas yakin?” tanyaku. Dia mengangguk dengan pasti. “Kenapa? Salah? Kau Masih marah dengan kejadian waktu itu?” tanyanya. “Mas...” kataku. “Aku lebih senang kau panggil aku Shi. Tetaplah seperti itu” katanya sambil tersenyum. “Iya.” Kataku singkat sambil mengangguk karena pesanan kami telah datang. Ku pandangi dia.
Tiga bulan yang lalu di warung pinggiran. “Mas Ridwan.” sapaku begitu ku lihat dia tengah berada di sana sendirian. “Ratih.” panggilnya. “Sendiri saja, Mas?” tanyaku. “Eh, iya.” jawabnya. Ku lihat di depannya terdapat dua piring bekas nasi goreng dan bibirnya yang masih berbekas minyak. He lie. “Sini duduk.” katanya sambil mempersilahkan aku duduk di sampingnya. “Trimakasih.” jawabku singkat dan lebih memilih duduk di depannya. Kami pun mengobrol kesana-kemari. Tentang kehidupan dan kesibukan kami sekarang ini. Walaupun kami sering tukar kabar, tapi itu baru sebatas melalui HP. Baru kali ini kami bertatap muka langsung setelah lama tak bertemu. Jujur aku sangat senang, walau tidak sepenuhnya. Ya, dia intuisiku. Sejak bertemu terakhir kali setelah sekian tahun. Intuisiku langsung bilang, yak, ini dia. Setelah itu aku membuktikan apakah benar atau tidak dengan cara terus menjaga hubungan baik dengannya. “Bulan depan?” tanyaku kaget. Mas Ridwan mengangguk pasti. Apa ini mimpi? Aku Masih bingung dengan yang ku dengar barusan. “Ini nyata, Shi. Bukankah kau ingin seperti ini.” katanya seolah tau apa yang ada di pikiranku. Aku Masih tak percaya. Iya, aku memang ingin seperti itu. Tapi tak ku sangka tiba-tiba seperti ini. Lagipula setauku dia masih dekat dengan seorang perempuan, walau tidak secara langsung dia bilang seperti itu padaku. “Kau yakin?” tanyaku. Dia mengangguk mantap. Sebulan setelahnya semua berjalan begitu saja, pesta sederhana dengan undangan hanya orang-orang terdekat saja. “Mas Ridwan.” panggil seorang perempuan menghampiri kami. Dia melewatiku dan langsung menyalami Mas Ridwan. Memegang tangan tepatnya. “Kok nggak ngasih undangan ke aku, Mas? Nggak ngasih kabar pula. Aku kan jadi ketinggalan info, Mas. Udah gitu nggak ada yang ngasih tau aku lagi.” katanya merajuk. Aku memandanginya dan tersenyum saat dia melirikku. Dia menyalamiku sebentar. “Untung tadi aku ketemu Mas Zaki di jalan, jadi aku ikut kesini, Mas.” katanya masih merajuk. Aku tetap tersenyum. Pahit. Mas Ridwan memandangiku.
“Ayo makan.” kata Mas Ridwan sambil mendekatkan sepiring nasi goreng ke arahku. “Trimakasih.” jawabku singkat. Kami makan dan terdiam. Sejak kejadian itu kami lebih sering diam dan bicara seperlunya jika hanya berdua saja. “Hoshi.” panggilnya. “Iya, Shi.” jawabku sambil meraih tisu di depanku. Berusaha untuk tak lagi canggung. Ku pandangi dia seolah berkata ada apa. Dia memandangiku. Lagi. Kami terdiam. “Ayo pulang.” ajaknya sembari berdiri dan menarik kursi yang tadi ku duduki ketika ku berdiri.  Sejenak ku terperangah. Sepertinya semua benar akan lebih baik mulai sekarang. Kataku dalam hati. “Shi, apa kita beli buah aja ya buat ibu?” tanyaku begitu kami melewati deretan pedagang buah. Dia hanya diam. “Tapi bapak lebih suka dibawain martabak atau sate.” kataku lagi begitu melewati pedagang sate dan martabak di sebelahnya. “atau beli semuanya aja ya, Shi?” tanyaku sambil memandanginya. “Kita berhenti di sini saja, Shi.” kataku begitu melihat tempat parkir kosong. Dia memandangiku tanpa ekspresi. Kemudian tersenyum. Eh. Dia terus melajukan mobil. Aku memandanginya. Dia tepikan mobil dan menghentikannya. Dia dekatkan wajahnya ke arahku. Something will happen. Dia melihatku lembut. “Apa kau masih menyukainya, Shi? Apa itu sudah sangat lama? Apa kau merasa terpaksa dengan yang kita jalani sekarang?” tanyanya semakin mendekatiku. Eh. “Apa ajakanku waktu itu terlalu memaksamu, Shi?” tanyanya lagi. “Apa kau meragukanku, Shi?” tanyaku balik. Apa aku harus menjawab semuanya? Haruskah ku berkata aku masih menyukainya tapi aku ingin denganmu? Dia terdiam. Menjauhkan wajahnya dari depanku. “Shi.” panggilku. Dia menunduk. “Shi.” panggilku. Ku sentuh tangannya seolah berkata tenanglah. “Aku hanya tak tahu apa yang harus kulakukan.” jawabnya sambil memegang tanganku untuk tidak memegang tangannya. “Tetaplah denganku.” katanya masih memegang tanganku. “Aku akan membantumu melupakan Titan. Tenanglah. Panggil aku saat dia mendatangimu dan saat kau mulai memikirkannya.” katanya. Mas Ridwan. Aku tak pernah meragukan intuisiku. Sekalipun rasaku berlari, sedangkan intuisiku hanya diam, maka aku akan diam. Sekarang aku benar-benar mencintaimu, Mas, dan akan terus seperti ini. Seperti janjiku pada-Nya.
Lagi, lagi, dan lagi. Aku merindukannya. Lagi, lagi, dan lagi. aku mendambanya. Sekalipun dia tak tahu apa yang ku rasakan. Sekalipun semua berjalan dalam keteraturan. Ku tarik napas perlahan. Titan. Tadi ku lihat fotonya ketika SMA yang masih tersimpan di laptopku. Itu ku kopas ketika fb. Sekarang sudah berlalu tiga tahun sejak itu. Titan. Masih saja ku seperti ini. Ku tarik napas panjang dan beristighfar. Ternyata sampai juga aku di tempat fotokopian. Tadi ibu menyuruhku memfotokopi soal UTS. “210, Mas.” kataku pada pegawai fotokopiannya. “Iya, mba’. Mau ditunggu?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tapi masih lama lho, Mba’. Masih ada yang harus difotokopi dulu.”  katanya sambil menunjukkan tumpukan kertas di belakangnya. “Okke, Mas, nggak papa. Aku tunggu aja.” kataku tanpa berpikir panjang. Ku tunggu. 10 menit. 17 menit. Lama. Punyaku belum difotokopi juga. Ku tarik napas pperlahan sambil ku layangkan pandanganku. Eh, ada nasi goreng. “Mas, saya tinggal ke Warung Pinggiran dulu ya.” kataku. Masnya hanya mengangguk karena sedang melayani pengunjung yang lain.
Aku pernah berdoa, aku ingin takdirku adalah dia, teman kecilku, cinta pertamaku, dan orang yang berada di dekatku serta memahami keluargaku. Alasannya hanya satu, dengan begitu kami tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk menikah dengan alasan penyesuaian. Aku menyukainya, teman kecilku, cinta pertamaku. Sudah lebih dari lima tahun ini. Tetapi baru beberapa waktu lalu aku sadar, bukan dia cinta pertamaku. Namun dia yang ada di sana, yang selalu ada ketika dulu aku membutuhkannya, walau sekarang sangat jarang ku bisa bertemu dengannya. Mas Ridwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar